A.
REVIEW
TEORI-TEORI BELAJAR
1.
Behaviorism Theory/Teori Behaviorisme
a. Pengertian
Dalam
teori behaviorisme, perilaku menjadi hal yang diamati , diuji dan diverifikasi.
Behaviorisme suatu paham yang memusatkan perhatian tentang bagaimana
stimulus-stimulus lingkungan menyebabkan perubahan perilaku-perilku (respons)
seseorang. Memahami sudut pandang behavioristik dapat memberikan manfaat bagi
guru dalam menggunakan teori behavioristik untuk memahami dan membantu siswa
memperoleh perilaku yang mungkin lebih kompleks, produktif, dan prososial. Teknik behavioris yang digunakan di dalam kelas untuk
membentuk perilaku, terutama ketika berhadapan dengan menajemen kelas. Guru
menggunakan berbagai cara yang positif, seperti memberikan penghargaan dan
pujian untuk memperkuat perilaku positif pada siswa dan hukuman untuk mencegah
perilaku yang tidak diinginkan.
b. Sejarah Behaviorisme
Perkembangan teori behaviorisme tidak terlepas dari beberapa tokoh yang
memberikan sumbangan pemikirannya, yaitu:
·
Ivan Pavlov (1849-1936)
Ivan Pavlov terkenal dengan teori
pengkondisisan klasik. Dia menyimpulkan bahwa anjing akan mengelaurkan air liur
liur (respon
berkondisi) jika menerima makanan (stimulus berkondisi). Pavlov menemukan bahwa
dengan dering bel (stimulus netral) setiap kali dia memberi daging (stimulus
berkondisi) untuk anjing, anjing akhirnya akan mengeluarkan air liur (respon)
dari hanya mendengar bel (stimulus).
·
John B Watson (1878-1958)
John B Watson terkenal dengan teori pengkondisian
operan. Dia Meneliti seorang anak kecil bernama Albert bermain dengan tikus
putih. Saat Albert sedang bermain dia menggedor boks Albert dengan palu, hal
ini menyebabkan Albert menangis. Kemudian Watson mengulangi hal itu hingga
tujuh kali sehingga Albert mengeluarkan respon emosional berupa ketakutan yang
disebabkan hanya dengan melihat tikus.
·
Burrhus Frederick Skinner (1904-1990)
Skiner terkenal dengan teori behaviorisme radikal. Dia
meneliti bagaimana imbalan dan hukuman mempengaruhi perilaku. Dalam
penelitiannya menempatkan tikus dalam kotak dengan tuas. Jika tikus mendorong
tuas, tikus akan mendapat makanan. Akhirnya tikus belajar bahwa menekan tuas
meghasilkan hadiah berupa makanan (Myers:1995). Dalam Wolman:1973 menyebutkan bahwa penggunaan
computer meningkatkan pengalaman belajar bagi banyak siswa. Dalam penggunaan
pelatihan berbasis komputer (CAT) atau instruksi berbantuan computer (CAI) maka
siswa akan memperoleh pengetahuan dan berusaha melakukan yang terbaik. Sehingga
dengan ini siswa dapat maju melalui kurikulum dengan kecepatan sendiri.
c.
Aplikasi teori Behaviorisme
Teknik behavioris yang digunakan di dalam kelas untuk
membentuk perilaku, terutama ketika berhadapan dengan menajemen kelas. Guru
menggunakan berbagai cara yang positif, seperti memberikan penghargaan dan
pujian untuk memperkuat perilaku positif pada siswa dan hukuman untuk mencegah
perilaku yang tidak diinginkan.
d.
Kritik dari Behaviorisme
·
Dalam Beatty
(2002) bahwa pembejaran dengan menerapkan teori behaviorisme terlalu banyak
menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran.
·
Dalam Mergel (1998) bahwa behaviorisme tidak terlihat
memiliki manfaat apapun untuk belajar/dalam pembelajaran. Karena dalam
behaviorisme siswa dilatih untuk menerima umpan balik langsung dengan demikian
mereka hanya termotivasi sisi eksternalnya.
·
Dalam Graham (2007) Behaviorisme mengabaikan
fungsi-fungsi internal yang terdapat pada ptak yang meliputi motivasi, memori
dan pemahaman.
2. Social
Cognitive Theory (Teori Kognitif Sosial)
Albert Bandura mengembangkan Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive
Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory). Bandura (1986) mengembangkan
dan mendefinisikan teori sosial kognitif yang
menjelaskan bahwa orang-orang tidak hanya didorong oleh kekuatan batin namun
secara
otomatis dibentuk
dan dikendalikan oleh rangsangan
eksternal. Dalam model ini,
yang dapat divisualisasikan sebagai sebuah segitiga sama sisi, perilaku, kognitif dan
faktor personal lainnya dan peristiwa lingkungan semua beroperasi sebagai penentu berinteraksi satu
sama lain. Sifat orang kemudian didefinisikan dalam perspektif triadic ini.
Sehingga individu dipandang sebagai individu yang unik yangberbeda dengan yang
lain.
Timbal balik merujuk pada aksi
saling sementara determinisme menandakan produksi efek. Karena banyaknya
berinteraksi pengaruh dalam tiga serangkai, kondisi yang berbeda dapat
menyebabkan atau membantu efek yang berbeda.Bandura telah mengelaborasi proses belajar sosial dengan
faktor-faktor kognitif dan behavioral yang memengaruhi seseorang dalam proses
belajar sosial.
Konsep utama dari teori kognitif sosial adalah obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Teori
kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang
"pengamat" untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan
yang dipunyainya untuk menampilkan perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut
dengan self-efficacy atau
efikasi diri (Bandura, 1977) dan hal ini dipandang sebagai
sebuah prasayarat kritis dari perubahan perilaku.
Jika ada seorang "model" di dalam lingkungan
seorang individu, misalnya saja teman atau anggota keluarga di dalam lingkungan
internal, atau di lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita
dan hiburan, proses belajar dari individu ini akan terjadi melalui cara
memperhatikan model tersebut. Terkadang perilaku seseorang bisa timbul hanya
karena proses modeling. Modeling atau peniruan merupakan "the
direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang
langsung dan mekanis (Baran &
Davis, 2000: 184). Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan
anaknya bagaimana cara memasang kancing baju dengan memeragakannya berulang
kali sehingga si anak bisa memasang kancing bajunya sendiri, maka proses ini
disebut proses modeling.
Teori kognitif sosial kembali ke konsep dasar "rewards and punishments"
(imbalan dan hukuman) tetapi menempatkannya dalam konteks belajar sosial.
Teori
kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang "pengamat"
untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dipunyainya untuk
menampilkan perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut dengan self-efficacy atau efikasi
diri (Bandura, 1977) dan hal ini dipandang sebagai
sebuah prasayarat kritis dari perubahan perilaku.
Teori Kognitif Sosial memberikan sebuah penjelasan tentang
bagaimana perilaku bisa dibentuk melalui pengamatan pada model-model yang
ditampilkan oleh media massa. Efek dari pemodelan ini meningkat melalui
pengamatan tentang imbalan dan hukuman yang dijatuhkan pada model, melalui
identifikasi dari khalayak pada model tersebut, dan melalui sejauh mana
khalayak memiliki efikasi diri tentang perilaku yang dicontohkan di media.
3. Cognitive
Information Processing (Proses
Informasi Kognitif)
Dalam proses
informasi kognitif dapat diartikan sebagai
sebuah teori tentang proses penerimaan informasi kognitif, didalamnya mencakup situated
cognition/learning theory, knowledge forum, Components of Cognitive
Apprenticeship: Scaffolding dan complexity theory. Situated cognition/learning theory merupakan teori yang dikemukakan oleh Etienne
Wenger yang menyajikan premis di belakang dasar-dasar
teori kognisi terletak
sebagai berikut:
a. Kami adalah makhluk sosial. Jauh dari sepele benar, fakta ini
merupakan aspek penting dari
pembelajaran.
b. Pengetahuan
adalah masalah kompetensi sehubungan dengan usaha dihargai, seperti menyanyi
selaras, menemukan fakta-fakta ilmiah, memperbaiki mesin, menulis puisi, yang
ramah, tumbuh sebagai
anak laki-laki atau perempuan, dan sebagainya.
c. Mengetahui adalah masalah berpartisipasi dalam mengejar perusahaan tersebut, yaitu, keterlibatan aktif
di dunia.
d. Arti - kemampuan kita untuk
mengalami dunia dan keterlibatan kami dengan itu bermakna - sebenarnya
untuk apa belajar adalah untuk
menghasilkan (Wenger, 1998,
hal.4, di Driscoll,
2005, p.164).
Pengetahuan
adalah kolaboratif, asynchronous, software pendidikan yang dirancang untuk
membantu dan membangun pengetahuan dukungan pedadogies, praktek dan masyarakat.
Ini adalah program sosial konstruktivis yang tujuannya adalah untuk mendorong
pola wacana mahasiswa yang membangun pengetahuan bermakna dan membentuk koneksi
alami untuk dunia nyata. Buku itu diciptakan oleh Marlene Scardamalia dan Carl Bereiter pada tahun 1995 dan didasarkan pada lebih dari 15
tahun penelitian di Ontario Institute untuk Studi Pendidikan di
Universitas Toronto.
Lebih khusus, sebuah bangunan Pengetahuan
Masyarakat yang efektif:
- Fokus pada masalah, bukan topik: pengetahuan maju melalui wacana dalam upaya untuk memahami konsep-konsep dan menyelesaikan perbedaan.
- Menekankan desentralisasi, demokratis dan terbuka membangun pengetahuan, dengan fokus pada pengetahuan kolektif. Hal ini terjadi melalui interaksi sosial yang konstruktif dengan orang lain yang terlibat dalam masalah yang sama atau terkait.
- Membutuhkan bahwa anggota yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan masyarakat tetap terlibat dalam proses pengetahuan membangun tetapi tidak harus menempatkan batasan ruang lingkup penyelidikan.
- Partisipasi nilai anggota yang kurang berpengetahuan 'karena menentukan kesenjangan, kekurangan, kesulitan dalam pengetahuan yang diciptakan.
- Melibatkan komunitas pengetahuan yang lebih luas daripada yang terlibat dalam masalah lokal saat ini, membawa dilihat dari peserta masyarakat di seluruh dunia.
- Mendukung lingkungan di mana kontribusi seseorang dapat menentukan apa kontribusi akan mengikuti, sehingga mengubah arah wacana dan pengetahuan dibangun.
Seperti yang
telah kita ketahui bahwa Membangun Komunitas Pengetahuan menekankan pembangunan
ide-ide baru melalui kolaboratif, wacana demokrasi dalam lingkungan belajar.
Sosial budaya KBC menyediakan kesempatan dan alat untuk peserta untuk
menciptakan pengetahuan baru yang terus berkembang dan yang jutaan peserta
didik dapat berkontribusi.
Sesuai
dengan Zona Vygotsky Pembangunan Proximinal (ZPD),
perancah memungkinkan pelajar untuk memindahkan tugas dari ZPD mereka ke Zona
mereka Aktual Pembangunan (ZAD). Wood, Bruner, dan Ross (1976, seperti yang
dikutip oleh Rollins Burch, 2007) pertama kali digunakan istilah ini untuk
menggambarkan pembelajaran bahasa cara orang tua difasilitasi pada anak-anak
mereka. Perancah digambarkan sebagai sistem pendukung yang membantu anak-anak mencapai
sukses pada tugas-tugas yang terlalu sulit bagi mereka untuk mencapai sendiri. Zona Vygotsky
Pengembangan proksimal (ZPD)
merupakan daerah antara apa yang seseorang dapat mencapai
perkembangan dalam hal pemecahan masalah pada titik tetap dalam waktu
(snapshot), dan apa yang mereka dapat mencapai dengan
menggunakan potensinya melalui pemecahan masalah dengan bantuan seseorang lebih
mampu (pembangunan berkelanjutan), (Vygotsky, dikutip dalam Miller, 2002).
Bruner Teori ini dibangun di atas karya Vygotsky . Sebuah tingkat pelajar pembangunan sebenarnya scaffolded dengan tingkat perkembangan potensi mereka. Perancah adalah jenis tertentu guru (atau lebih dikenal lainnya, MKO) dukungan yang membantu pelajar mencapai tugas yang mereka tidak akan mampu mencapai tanpa bantuan; bantuan yang diberikan hanya pada saat dibutuhkan, yang dirancang untuk membantu pekerjaan pelajar dengan meningkatkan kemandirian.
Bruner Teori ini dibangun di atas karya Vygotsky . Sebuah tingkat pelajar pembangunan sebenarnya scaffolded dengan tingkat perkembangan potensi mereka. Perancah adalah jenis tertentu guru (atau lebih dikenal lainnya, MKO) dukungan yang membantu pelajar mencapai tugas yang mereka tidak akan mampu mencapai tanpa bantuan; bantuan yang diberikan hanya pada saat dibutuhkan, yang dirancang untuk membantu pekerjaan pelajar dengan meningkatkan kemandirian.
Teori
kompleksitas dalam Capra (2005) menjelaskan
bahwa model yang kompleks, sistem non-linear,
dan "mengembangkan serta melihat hidup dengan mengintegrasikan dimensi biologis, kognitif
dan sosial kehidupan" ; yaitu, memahami
gambaran besar tidak dengan melihat bagian-bagian, tetapi interaksi di antara mereka. Premis dasar Kompleksitas
Teori adalah bahwa
sistem non-linear tidak bisa ditebak, karena seringnya berinteraksi memperoleh
sifat kolektif dan
dengan demikian sistem menjadi
lebih besar daripada jumlah
bagian-bagiannya (Phelps, Hase
& Ellis, 2005,
hal. 72).
Teori
kompleksitas juga merupakan sebuah Teori Sistem, yang menggambarkan kehidupan
sebagai lingkungan yang selalu berubah. Variabel dalam suatu sistem dapat
berubah dan mempengaruhi hasil dalam cara yang tak terduga. Perubahan tidak
mengikuti jalur linear diprediksi. Sebaliknya itu cabang di banyak arah yang
membentuk jalur non-linear yang kompleks. Pendidikan tradisional dirancang
untuk jalur linear dengan hasil diprediksi. Pendidikan perlu berevolusi untuk
beradaptasi dengan jalur non-linear yang kompleks untuk membantu peserta didik
untuk mengadopsi perubahan seperti yang telah terjadi. Hyperlink Internet
memungkinkan pembaca untuk mengetahui cabang dari arah yang berbeda dan memberikan
contoh yang baik dari kompleksitas yang mirip dengan proses pemikiran manusia.
4.
Meaning
Full Learning Theory (Pembelajaran yang Bermakna)
Pembelajaran
sebagi proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta
didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta
didik agar dapat belajar dengan baik. Sehingga kegiatan pembelajaran yang
menyenangkan serta bermakna akan menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi siswa
khususnya untuk meningkatkan motivasi mereka agar mau belajar. Jika penyajian pembelajaran
tidak dilaksanakan secara bermakna maka siswa akan menjadi kurang tertarik /
tidak berminat dalam mengikuti pembelajaran.
Untuk menciptakan pembelajaran yang
bermakna maka model pembelajaran yang akan diterapkan guru pun menyesuaikan,
salah satunya yaitu melalui Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan sebuah
pendekatan belajar kontruktivisme yang menjadikan siswa sebagai pusat belajar.
Sehingga bentuk pembelajarannya aktif yang mencakup tiga definisi yaitu:
a. Pembelajaran
dirancang secara relevan sesuai dengan kemampuan siswa dan
pertanyaan-pertanyaan yang digunakan menyediakan berbagai startegi pemecahan
masalah.
b. Siswa
belajar dalam lingkungan yang melibatkan kempuannya sendiri serta
partisipasinya dalam kelompok kecil. Sehingga besar sekalli partisipasi siwa
dalam pembelajaran dan peran guru memfasilitasi belajar siswa.
c. Penialaian
dan Evaluasi memainkan peran penting dalam model PBL. Dalam M. Kumar & U. Natarajan (2007) menyebutkan bahwa tugas guru
dapat menggabungkan alat penilaian/evaluasi dalam lingkungan belajar siswa.
Terdapat beberapa pedoman desain masalah
dalam model PBL sebagai berikut:
a. Masalah harus didasarkan sekitar skenario umum di
lapangan.
b. Masalah harus menyediakan pedoman bagi siswa
yang terdiri atas berbagai keterampilan.
c. Masalah harus dirancang agar dapat mengangkat
topic penyelidikan untuk mencakup kedua tingkat kognisi dan meta kognisi.
d. Menyediakan
berbagai informasi tambahan.
e. Tutor
atau fasilitator tidak harus seorang ahli, dapat diambil dari siswa yang lebih
pandai yang dapat mengidentifikasi topic yang siswa harus bahas dalam sesi
kelompok dan menuntun mereka dalam diskusi.
f. Materi visual juga dapat disertakan dalam
masalah meskipun itu tergantung pada sumber daya yang tersedia.
g. Masalah harus menangani masalah-masalah nyata
yaitu meliputi tiga alasan yaitu:
· Masalah
yang benar-benar sulit akan membuat siswa semakin kaya dalam mencari solusi
infromasi pemecahannya.
· Masalah
nyata dapat memotivasi siswa untuk belajar.
· Pada
akhirnya siswa ingin belajar dari hasil permasalahan tersebut.
h. Dalam merancang masalah harus yang memiliki
solusi yang jelas, dari yang sederhana menuju yang lebih rumit.
i. Masalah harus membangun pengetahuan sebelumnya
agar siswa termotivasi secara efektif untuk memecahkan maslah.
j. Belajar dalam kelompok kecil adalah metode
yang paling bermanfaat bagi siswa untuk bekerja dalam tim.
Dalam Sungur et al (2006) menyebutkan bahwa tujuan dari PBL
adalah untuk mempersiapkan siswa agar siap untuk pengaturan yang benar untuk
hidup serta meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan cara
mengharuskan siswa untuk berpikir tentang masalah kritis dan menganalisis data
untuk menemkan solusi. Matematika adalah ilmu pengetahuan yang banyak
diterapkan dalam kehidupan manusia. Pendekatan PBL membantu siswa untk
mempersiapkan siswa berpikir kritis dan analitis sehingga pengetahuan yang
dipelajari melalui sekolah dapat diterapkan dengan lebih baik di dunia nyata.
Berikut adalah beberapa manfat PBL dalam pendidikan matematika yaitu:
a. Melatih
kemandirian dan tanggung jawab siswa.
b. Memberikan
siswa berbagai permaslah yang realistis yang sesuai dengan konteks tertentu.
c. Menunjukkan
siswa bahwa ada lebih dari satu cara untuk memecahkan masalah.
d. Meningkatkan
kerja kelompok atau kolaborasi dalam matematika.
e. Meningkatkan
motivasi diri dan berpikir kritis.
f. Membantu
siswa menunjukkan pemahaman dan pengertahuan mereka dalam cara yang non
tradisional.
g. Mendorong
pembelajaran seumur hidup.
Dari sinilah dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa model PBL pada berbagai mata pelajaran
khususnya matematika memberikan kepada siswa sebuah pembelajaran yang bermakna.
Ketika siswa telah merasakan bahwa pembelajaran ini bermanfaat bagi
kehidupannya maka kebermaknaannya dari pembelajaran tersebut akan semakin
terasa.
Selain menggunakan PBL
dalam desain pembelajaran yang bermakna dapat pula dengan menggunakan
Collaborative learning yang bermula dari teori Vygotski, yang menyebutkan
adanya ZPD (Zone Proximal Development). Dalam Vianna (2006) menyebutkan bahwa
Vygotski berusaha menjelaskan perkembangan anak melalui praktek kolaboratif informatif
yang melibatkan pengaruh budaya, alat-alat budaya, dan individu lainnya. Dalam
Vygotsky (1978) menyebutkan definisi ZPD yaitu "jarak antara tingkat
perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah independen
dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa, atau bekerja sama dengan rekan-rekan yang lebih
mampu. Dalam Woolfolk (2000) juga menyebutkan bahwa ZPD adalah area di mana
anak tidak bisa memecahkan masalah sendirian tapi berhasil dapat
menyelesaikannya di bawah bimbingan atau bekerja sama dengan orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih maju - ini adalah di mana pembelajaran yang
memungkinkan. Salah satu model pembelajaran yang terkait denganteori ini yaitu
melalui collaborative learning. Dengan collaborative learning siswa berlatih
bekerjasa, saling membantu dalam menyelesaikan tugas belajar, sehingga tumbuh
dalam diri siswa keyakinan (self efficacy) yang kuat untuk dapat menyelesaikan
suatu masalah ataupun tugas saat pembelajaran. Didalam collaborative learning
juga terdapat pengajaran timbal balik, strategi inilah yang menyediakan cara
untuk mengases zona perkembangan proksimal (ZPD). Selain collaborative learning
terdapat model pembelajaran untuk mendukung ZPD siswa yaitu melalui partisipasi
terpadu, magang, penemuan (mendorong siswa untuk mencoba keterampilan baru,
pemodelan, guru juga dapat menggunakan petunjuk serta memberikan pertanyaan
terkemuka bagi siswa.
Telah disebutkan di
atas bahwa penialaian dan evaluasi memainkan peran penting dalam model PBL.
Evaluasi merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Tujuan dari
evaluasi pembelajaran adalah memberikan umpan balik tentang pembelajran dan membimbing
guru dan siswa untuk membuat tugas-tugas pembelajaran yang tepat.
Dalam sudut pandang kontruktivifisme
evaluasi dapat dilaksanakan melalui penilaian formatif, sumatif dan penilaian
diri. PBL termasuk model pembelajaran dengan pendekatan kontruktivis sehingga bentuk evaluasi cenderung subyektif
dalam proses pembelajarannya pun siswa mencapai pengetahuan dengan mengkonstruk
pengetahuan itu sendiri. Evaluasi kontruktivisme berfokus pada poses belajar
individu dalam mencapai proses penciptaan pengnetahuan. Setiap pelajar yang
dianggap berbeda dengan kekuatan individu, kelemahan, dan pengetahuan
sebelumnya dan pengalaman. Evaluasi berfokus pada bagaimana peserta didik mampu
mempelajari materi baru melalui menghubungkan dengan pengetahuan sebelumnya
untuk membuat ikatan abadi dalam pikiran pembelajar. Melalui hubungan ini,
siswa dievaluasi pada kemampuan mereka untuk menerapkan pembelajaran dengan
konteks kehidupan nyata sehingga pengetahuan yang didapatkanakan semakinkuat
dalam pikiran siswa.
5.
Developmental Approach (Teori Pendekatan
Perkembangan)
Teori Developmental Approach, merupakan teori belajar anak berdasarkan
tahap tumbuh kembang si anak. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget,
bahwa anak-anak bisa mengembangkan kognisi dan pengetahuan melalui serangkaian
tahap perkembangan. Untuk berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya,
melalui penggunaan asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan, keuntungan dan
membangun schemata, yang ditransfer ke tahap berikutnya dan dibangun lebih
lanjut atas secara constructionivst (wikipedia.org). Syarat utama terjadinya proses pengembangan
kognitif dan pengetahuan menurut Piaget:
·
Asimilasi : Memasukkan struktur logis baru
(atau skema) ke yang sudah ada bahwa kita kemudian berlaku untuk dunia di
sekitar kita.
·
Akomodasi : Memodifikasi struktur logis
atau skema untuk kesepakatan yang lebih baik dengan lingkungan.
·
Equalibriation: Keseimbangan antara struktur
kognitif asimilasi dan akomodasi dalam mencapai pengetahuan,
·
Egosentrisme : Kegagalan untuk
memahami bagaimana titik orang lain pandang mungkin berbeda dari mereka
sendiri. Penelitian Piaget menunjukkan fakta bahwa egocentrisim paling menonjol
sebelum usia enam atau tujuh. Namun, kemudian penelitian Piaget, serta yang
lain peneliti, telah memperkirakan bahwa egosentrisme dapat timbul pada setiap
tahap perkembangan, tetapi dalam bentuk yang baru dan berbeda.
Empat tahap perkembangan menurut piaget:
1. Tahap
sensori-motor (0 – 2 tahun)
·
Kecerdasan ini
ditunjukkan melalui aktivitas motorik tanpa menggunakan simbol-simbol.
·
Pengetahuan tentang
dunia terbatas karena didasarkan pada interaksi fisik / pengalaman.
·
Anak-anak mendapatkan
objek permeance sekitar 7 bulan.
·
Pembangunan fisik
(mobilitas) memungkinkan anak untuk mulai mengembangkan kemampuan intelektual
baru.
·
Beberapa simbolik
(bahasa) kemampuan yang dikembangkan pada akhir tahap ini
2.
Tahap pra operasional (2-7 tahun)
·
Intelijen ditunjukkan
melalui penggunaan simbol-simbol, penggunaan bahasa dewasa, dan memori dan
imajinasi dikembangkan.
·
Berpikir dilakukan
dalam nonlogical, cara nonreversable.
·
Dominan Berpikir
egosentri
3.
Tahap operasional konkret ( 7-11 tahun)
·
Kecerdasan ini
ditunjukkan melalui manipulasi logis dan sistematis simbol yang berkaitan
dengan benda-benda konkrit.
·
Pemikiran operasional
berkembang (tindakan mental yang bersifat reversibel).
·
Pemikiran egosentris
berkurang
4.
Tahap operasional formal (11 tahun-dewasa)
·
Kecerdasan ini ditunjukkan melalui
manipulasi logis dari simbol yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak.
·
Pada awal periode ini ada kembali ke
pemikiran egosentris.
·
Banyak orang dewasa tidak pernah
mencapai tahap ini.
Sehingga dari tahap-tahap perkembangan diatas siswa sekolah dasar berada
pada tahap operasional konkret. Disinilah posisi guru berperan dalam menyajikan
pembelajaran yang berkaitan langsung dengan benda-benda konkret untuk membantu
siswa memahami materi pelajaran yang diajarkan.
Dalam Pemilihan model pembelajaran diutamakan yang dapatmengaktifkan siswa
misalnya melalui PBL (Problem Based Learning). Dalam teori PBL diidentifikasikan
sebagai strategi untuk belajar aktif
dan berbasis pada sebuah masalah. Siswa mengambil lebih banyak tanggung jawab
dalam lingkungan belajar ini aktif saat guru memfasilitasi. Karena kenyataan
bahwa "lingkungan PBL biasanya didasarkan pada prinsip-prinsip
konstruktivisme" adalah penting bagi desainer untuk menggabungkan
berpikiran alat penilaian / evaluasi dalam lingkungan belajar mereka (M. Kumar
& U. Natarajan, hal.94). Asal usulnya adalah di tahun 1970-an di McMaster University Fakultas
Kedokteran. Sebagai kelompok kecil siswa bekerja melalui kasus (Masalah) mereka
menghasilkan pertanyaan dan menyelidiki pengetahuan mereka sebelum mencoba
membuat hipotesis untuk menjelaskan fenomena di bawah analisis. Para siswa
mengembangkan masalah pembelajaran
di daerah di mana pengetahuan mereka tidak cukup. Antara sesi yang masalah pembelajaran yang diteliti dan
masalah tersebut diperbaiki pada sesi berikutnya sampai siklus masalah selesai.
Instruktur ada untuk membantu memfasilitasi eksplorasi siswa dengan mengajukan
jarang pertanyaan membimbing .
Ini fasilitator tidak perlu
menjadi ahli konten pada masalah (Barrows, p 43) Ada paket guru yang
menyediakan informasi yang diperlukan tentang kasus ini dan memberikan
beberapa. pertanyaan membimbing
. Karena "Masalah" yang mendorong pembelajaran, mengembangkan masalah
yang baik merupakan dasar yang efektif PBL
Program.
6.
Social Formation Theory
(Teori
Formasi Sosial)
Dalam Teori formasi sosial mencakup social learning theory, collaborative knowledge building
model, connectivism, ZPD, collaborative learning, dan teori
modeling. Inti dari teori formasi sosial adalah bahwa pembelajaran melibatkan
suatu lingkungan ataupun sebuah komunitas
belajar yang saling terkait dan saling memberikan bantuan demi kemajuan bersama.
Atau dengan kata lain pembelajaran dengan cara berkolaborasi.
Pembelajaran
kolaboratif adalah suatu keadaan
di mana dua atau lebih orang belajar sesuatu
secara bersama-sama. Dalam
Dillenbourg (1999) Pembelajaran
Kolaboborative tidak
seperti belajar individu, orang yang terlibat dalam pembelajaran kolaboratif
memanfaatkan satu sama lain sumber daya dan keterampilan (Chiu: 2000). Menurut Chiu (2008) pembelajaran
kolaboratif didasarkan pada model bahwa pengetahuan dapat dibuat dalam populasi
di mana anggota aktif berinteraksi dengan berbagai pengalaman dan mengambil
peran asimetri. Pembelajaran kolaboratif mengacu pada metodologi dan lingkungan
di mana peserta didik terlibat dalam tugas umum di mana setiap individu
tergantung dan bertanggung jawab satu sama lain (Mitnik: 2009). Termasuk di
dalamnya percakapan tatap muka (Chiu: 2008) dan diskusi komputer (forum online,
chat room, dll.).
Dasar dari Pembelajaran
kolaboratif yaitu pada
pandangan Vygotsky bahwa ada sifat sosial yang melekat pembelajaran yang
ditunjukkan melalui teori Zone of
Proximal Development (ZPD). Seringkali, pembelajaran kolaboratif digunakan
sebagai istilah umum untuk berbagai pendekatan dalam pendidikan yang melibatkan
upaya intelektual bersama oleh siswa atau siswa dan guru (Lee: 2000). Dengan
demikian, pembelajaran kolaboratif umumnya digambarkan ketika kelompok siswa
bekerja sama untuk mencari pemahaman, makna, atau membangun pengetahuan mereka
(Smith: 1992). Kegiatan belajar kolaboratif dapat mencakup menulis kolaboratif,
proyek kelompok, pemecahan masalah bersama, debat, tim studi, dan kegiatan
lainnya (Chiu:2004).
Vygotsky
berusaha untuk menjelaskan perkembangan anak melalui praktek kolaboratif
transformatif yang melibatkan pengaruh budaya, alat-alat budaya, dan individu
lainnya (Vianna, 2006). Penekanan pada perkembangan pembelajaran ini adalah
kolaborasi, yang mengarah pada Zone of
Proximal Development Vygotsky (ZPD). Vygotsky menyatakan bahwa ZPD adalah
"jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh
pemecahan masalah independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan
melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa, atau bekerja sama
dengan rekan-rekan yang lebih mampu. "(Vygotsky, hal. 86, 1978). Dengan bantuan orang lain, siswa akan dapat mencapai
pengetahuan lebih dari ketika siswa
belajar sendiri. Ide bimbingan telah terlihat, di mana pengetahuan siswa dibangun secara
berlapis, dengan masing-masing tingkat instruksi pada lapisan lain (Oxford,
1997). Bimbingan rekan-rekan yang lebih kompeten membantu dalam pengalaman
pelajar (Vygotsky, 1978). Kuncinya adalah pada akhirnya peserta didik akan
dapat melakukan tugas yang sama terkait atau memahami konsep tanpa bantuan dari
rekan atau pendidik.
Pembelajaran
kolaboratif terjadi ketika individu secara aktif terlibat dalam sebuah
komunitas di mana pembelajaran terjadi melalui upaya kolaboratif eksplisit atau
implisit. Pembelajaran kolaboratif sering digambarkan sebagai proses kognitif
dimana orang dewasa berpartisipasi sebagai fasilitator pengetahuan dan
anak-anak sebagai penerima. Namun, masyarakat Amerika menggambarkan bahwa
pembelajaran kolaboratif terjadi karena partisipasi individu dalam belajar
terjadi pada bidang horizontal di mana anak-anak dan orang dewasa adalah sama.
Menurut Paradise (1985) pembelajaran kolaboratif juga terjadi ketika anak-anak
dan orang dewasa terlibat dalam aktivitas bermain, bekerja, dan kegiatan
lainnya secara bersama-sama.
7.
Representation
and Discovery Learning ( Pembelajaran Representasi dan Penemuan)
Desain pembelajaran yang berpusat pada
siswa memerlukan perancangan yang dapat digunakan untuk mengembangkan suatu
produk atau system yang akan dapat digunakan serta bermanfaat bagi siswa. Dalam
Norman (1988) menyebutkan manfaat dari desain pembelajaran yang berpusat pada
siswa yaitu memudahkan untuk menentukan tindakan apa yang mungkin setiap saat,
membuat hal-hal yang terlihat seperti konsep, tindakan, dan hasil, memudahkan
untuk mengevaluasi keadaan system saat ini, dan membentuk hubungan yang alami
serta memberikan tindakan yang tepat. Peran guru/desainer adalah memastika
bahwa pengguna dapat memanfaatkan produk sebagaimana yang dimaksud.
Didalam guru membuat sebuah desain
pembelajaran diharapkan memenuhi kebutuhan standar isi dan menjawab pertanyaan
“apa yang akan diajarkan”. Guru mebutuhkan model pembelajaran yang sesuai
dengan standar yang menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pengajaran yang
sesuai dengan standar konten serta basis informasi yang kuat. Universal Desain
Pembelajaran (UDL) adalah teori pembelajaran yang telah dikembangkan oleh Rose
dan Meyer, yang berusaha untuk memastikan bahwa lingkungan belajar, termasuk
kurikulum, penilaian dan pengajaran dan alat belajar mempromosikan belajar dan
menghilangkan hambatan untuk belajar.
Belajar penemuan adalah teknik
pembelajaran berbasis penyelidikan dan dianggap sebagai pendekatan berbasis
konstruktivis untuk pendidikan. Hal ini didukung oleh karya teoretisi belajar
dan psikolog Jean Piaget, Jerome Bruner, dan Seymour Papert. Meskipun bentuk
instruksi memiliki popularitas besar, ada beberapa perdebatan dalam literatur
tentang kemanjurannya (Mayer, 2004). Pembelajaran penemuan terjadi dengan memecahkan suatu masalah di
mana pelajar mengacu pada pengalamannya sendiri dan pengetahuan sebelumnya dan
merupakan metode pengajaran di mana siswa berinteraksi dengan lingkungannya
dengan mengeksplorasi dan memanipulasi benda, bergulat dengan pertanyaan dan
kontroversi atau melakukan percobaan. Maka pembelajaran berbasis masalah (PBL)
sesuai dengan teori discovery learning ini.
8.
Constructivist Approach (Pendekatan Kontruktivitis)
Konstruktivisme adalah sebuah teori
tentang bagaimana orang belajar, yang meliputi baik behaviorisme dan teori
kognitif. Konstruktivis mengusulkan bahwa orang membangun pemahaman mereka
sendiri dan pengetahuan tentang dunia, melalui mengalami hal-hal dan
merenungkan pengalaman-pengalaman. Ketika kita menemukan sesuatu yang baru,
kita mungkin menggabungkan dengan ide-ide kita sebelumnya dan pengalaman
melalui proses asimilasi, atau mungkin mengubah apa yang kita yakini dalam
proses akomodasi. Dalam kasus apapun, kita adalah pencipta aktif pengetahuan
kita sendiri. Untuk melakukan hal ini, kita harus bertanya, mengeksplorasi, dan
menilai apa yang kita tahu.
Di dalam kelas, pandangan konstruktivis
belajar dapat menunjuk ke arah sejumlah praktek pengajaran yang berbeda. Dalam
pengertian yang paling umum, biasanya berarti mendorong siswa untuk menggunakan
teknik aktif (percobaan, pemecahan masalah dunia nyata) untuk membuat lebih
banyak pengetahuan dan kemudian untuk merenungkan dan berbicara tentang apa yang
mereka lakukan dan bagaimana pemahaman mereka berubah. Guru memastikan dia
memahami konsepsi yang sudah ada sebelumnya siswa, dan memandu kegiatan untuk
mengatasi mereka dan kemudian membangun pada mereka.
Dalam pembelajaran konstruktivisme juga tidak lepas dari adanya evaluasi.
Evaluasi merupakan bagian integral dari proses pembelajaran.
Evaluasi dalam tujuan pembelajaran dari guru dan siswa, memberikan siswa dengan
umpan balik tentang pembelajaran mereka, dan membimbing guru dan siswa untuk
membuat tugas-tugas pembelajaran yang tepat. Evaluasi dapat mengambil bentuk
berbagai metode seperti penilaian untuk, seperti, dan belajar (juga dikenal
sebagai penilaian formatif , penilaian diri , dan 9http: penilaian sumatif
//en.wikipedia.org/wiki/Summative_assessment]). Cukup sering dalam sistem
pendidikan saat ini, penilaian sumatif adalah tanda titik-fokus didorong
praktek penilaian dan tes standar. Namun, ada baru-baru ini terjadi pergeseran
dari metode penilaian sumatif untuk diri dan metode penilaian formatif.
Mengemudi perubahan ini adalah keyakinan bahwa siswa harus menjadi peserta
aktif dalam pembelajaran mereka, yang mengharuskan mereka untuk menilai proses
belajar mereka sendiri. Penilaian alternatif ini didasarkan pada frustrasi
dengan metode evaluasi tradisional dan keinginan untuk menciptakan pemahaman
yang mendalam dan mengevaluasi kemampuan untuk menerapkan pembelajaran dengan
konteks kehidupan nyata (Reeves & Okey, 1996) .
Dari sudut pandang konstruktivis, proses pembelajaran ditekankan atas produk akhir.
Evaluasi dalam konstruktivisme sebagai pembelajaran (formatif dan penilaian
diri), sebagai lawan evaluasi belajar (penilaian sumatif). Sementara behaviorisme dan kognitivisme fokus pada pengukuran hasil yang spesifik obyektif,
konstruktivis cenderung subyektif menilai pekerjaan siswa. Perjalanan dalam
mencapai pengetahuan adalah sama pentingnya dengan pengetahuan itu sendiri.
Dalam kelas konstruktivis, evaluasi mengambil
bentuk metode tak berujung dirancang untuk fokus pada proses yang seorang
pelajar telah digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Melalui penilaian diri
dan refleksi, pelajar memperkuat / nya hubungan nya dalam pikiran. Guru
menggunakan berbagai metode penilaian formatif untuk memantau proses pelajar
dan menentukan bagaimana pelajar adalah belajar. Konstruktivis pendekatan belajar menggunakan dua prinsip utama:
- Siswa belajar atau menerima pengetahuan melalui keterlibatan secara aktif dalam membangun pengetahuan yang akan diperoleh; tidak pasif diterima dari lingkungan. Persepsi, pengalaman, dan refleksi semuanya penting dalam membentuk pandangan siswa secara keseluruhan terhadap sesuatu hal.
- Mengetahui sesuatu yang datang melalui suatu proses pembelajaran.
Peran aktif siswa menjadi ciri utama pada pembelajaran konstruktivisme ini,
dengan memperolehpengetahuan secara mandiri siswa akan mendapatkan pengetahuan
yang akan lebih lama dalam mengingatnya.
9. Social
Approach (Pendekatan
Sosial)
Dalam teori Pendekatan sosial
atau social approach terkait dengan social learning theory, collaborative
knowledge building model, connectivism, ZPD, collaborative learning. Konsep
collaborative knowledge building (CKB)
diperkenalkan oleh Scardamalia dan Bereiter (1994) dalam penelitian mereka pada
proses belajar di sekolah, di mana mereka mengusulkan bahwa sekolah harus
berfungsi sebagai masyarakat pembangun pengetahuan. Model collaborative knowledge building adalah model pembelajaran di mana
ada beberapa tahapan yang merupakan siklus knowledge
building pribadi dan sosial. CKB adalah penyelidikan dalam pelayanan
kegiatan praktis yang merupakan seperangkat keyakinan pribadi, yang
diartikulasikan sebagai kontribusi kepada proses membangun pengetahuan sosial.
Sebuah kondisi yang diperlukan untuk membangun pengetahuan kolaboratif adalah
bahwa peserta didik membawa pengetahuan sebelumnya ke dalam situasi belajar dan
memperjelas perbedaan pandangan dan pendapat dalam berinteraksi. Pengetahuan
baru ini muncul tidak alami atau spontan namun perlu dibina berdasarkan
pemahaman tentang bagaimana pengetahuan baru muncul dalam interaksi sosial.
Baru-baru ini terdapat banyak sekali bantuan yang
diberikan pemerintah dalam bentuk laboratorium komputer, sehingga dapat dengan
mudah guru maupun siswa mengakses jaringan internet. Penggunaan
jaringan komputer memberikan alternatif dalam mengajar tradisional tatap muka
berubah menjadi konsep kelas dengan konsep collaborative
knowledge building bagi peserta didik. Model collaborative knowledge building menggabungkan wawasan dari
berbagai teori pemahaman dan pembelajaran dan menyediakan kerangka kerja
konseptual yang berguna untuk desain perangkat lunak Computer Supported Collaborative Learning (CSCL) dan lingkungan.
Penelitian terakhir, proyek dan kerja telah menunjukkan efektivitas perangkat
lunak dan lingkungan dalam memfasilitasi dan meningkatkan collaborative knowledge building siswa.
Proses
CKB digambarkan sebagai momen sinergis dimana kelompok mencapai pemahaman
bersama dengan berpartisipasi dalam proses sosial budaya. Setiap anggota
kelompok membawa perspektif dan interpretasi dari pengalaman pribadi mereka.
Proses di mana kelompok mencapai pemahaman bersama dan antar-subjektivitas
melalui interaksi konstan dipecah menjadi kegiatan peningkatan pengetahuan yang
lebih kecil. Pandangan CKB, belajar sebagai proses sosial menggabungkan
beberapa tahapan yang merupakan siklus membangun pengetahuan pribadi dan
sosial. Dukungan komputer dapat digunakan untuk mengintegrasikan berbagai
tahapan dalam siklus membangun pengetahuan untuk meningkatkan lingkungan
belajar dan memperkenalkan collaborative
knowledge building. Saat ini ada software dan perangkat lunak sosial yang
mungkin lebih mamadai untuk mendukung pengembangan pengetahuan kolaboratif
dalam lingkungan pembelajaran berbasis komputer.
10.
Technological Approach
Technologi Approach merupakan suatu teori pembelajaran yang menggunakan
pendekatan teknologi sebagai metode maupun media pembelajaran. Guru dapat
menggunakan teknologi dalam pembelajaran untuk memudahkan siswa dalam mengakses
informasi, menyampaikan bahan ajar dengan lebih menarik atau membantu siswa
memahami materi pelajaran dengan baik. Maka guru pun dapat menggunakan jaringan internet dalam bentu apapun untuk
mewadahi itu semua. Bisa dalam bentuk web, power point, lectora dsb. Prinsip-Prinsip
untuk pengguna berpusat Desain Web:
a. Visibilitas
b. Memori Beban
c. Tanggapan
d. Aksesibilitas
e. Point of Reference & Navigasi
f.Kesalahan
g. Kepuasan
b. Memori Beban
c. Tanggapan
d. Aksesibilitas
e. Point of Reference & Navigasi
f.Kesalahan
g. Kepuasan
Technologi Approach meliputi, The Effective Web Design Paradigm, User-Centred, Differentiated Instruction and
Understanding by Design. Teori ini terlihat pada kombinasi yang
kuat dari tiga model pengajaran / pembelajaran yang berbeda; Memahami by Design
(UBD), Instruksi Differentiated (DI) dan Universal Desain Pembelajaran, (UDL).
Dengan mendefinisikan dan menguraikan kekuatan dari model pembelajaran
individual, menjadi jelas bahwa bersama-sama mereka membentuk sebuah pendekatan
pengajaran yang kuat dan holistik.
UBD memenuhi kebutuhan untuk standar isi
dan menjawab pertanyaan: ". Apa yang kita ajarkan" Dengan peningkatan
ekspektasi konten di semua tingkatan kelas serta pengujian standar pemerintah
yang membandingkan tingkat prestasi sekolah; mengajar di kelas telah
terpengaruh dengan cara yang tidak sepenuhnya bermanfaat bagi pembelajaran.
Guru membutuhkan model yang menyumbang standar tetapi juga menunjukkan
bagaimana pembelajaran dan pemahaman dapat mengatasi standar konten serta
mengembangkan basis informasi yang kuat. Memahami dengan desain menyelesaikan
tujuan ini.
DI memandang pada bagaimana dan di mana
kita mengajar siswa kita, berfokus pada praktek-praktek terbaik untuk
masing-masing peserta didik. Selain harapan konten adalah sulitnya memenuhi
kebutuhan beragam kelas hari ini. Bahasa, budaya, jenis kelamin, kesenjangan
ekonomi, motivasi, cacat, kepentingan pribadi dan gaya belajar serta lingkungan
rumah hanya beberapa dari banyak variabel yang membawa siswa ke sekolah dengan
mereka. Variabel-variabel ini dapat membuat tidak efektif bahkan kurikulum
terbaik jika kebutuhan beragam kelas tidak terpenuhi. Instruksi dibedakan dapat
menawarkan kerangka desain kurikulum yang dapat mengakomodasi perbedaan guru
melihat di kelas.
UDL adalah teori pembelajaran yang telah
dikembangkan oleh Rose dan Meyer, yang berusaha untuk memastikan bahwa
lingkungan belajar, termasuk kurikulum, penilaian dan pengajaran dan alat
belajar mempromosikan belajar dan menghilangkan hambatan untuk belajar.
Universal Desain adalah istilah yang diciptakan oleh Ron Mace pada tahun 1960
diterapkan pada desain "bebas hambatan" atau arsitektur diakses yang
akan menguntungkan semua. Konsep ini dimulai sebagai Ron Mace mencari metode
untuk memperbaiki kehidupan bagi penyandang cacat. Namun, metode ini ditemukan
secara universal menguntungkan dan Prinsip Tujuh dari Universal Desain yang
menulis. Desainer yang universal mulai bekerja dengan "user" dalam
pikiran
B.
BAGAN
HUBUNGAN ALUR PIKIR SISWA/ANTAR TEORI BELAJAR
Bagan Hubungan Alur Pikir Siswa
Bagan di atas
terdiri dari bagaimana interaksi antar siswa, panduan guru mengajar serta
pendekatan pembelajaran yang digunakan. Dalam mengajar guru mengaju pada
kurikulum yang telah ditetapkan kemudian dalam mengembangkan pembelajaran
melihat dari multiple intelligent nya. Karena tiap anak memiliki kecerdasan
yang berbeda-beda. Dalam pembelajaran guru perlu memperhatikan interaksi social
yang terjadi. Interasksi antar guru siswa, siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru. Keseluruahan hal –
hal tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan saling melengkapi
satu dengan yang lainnya.
C.SKEMA
ALUR PIKIR SISWA
Skema alur pikir
siswa dapat diartikan sebagai berikut bahwa garis lurus menggambarkan siswa dan
guru sebagai seorang individu yang terus bergerak. Siswa sebagai subyek belajar
dengan segenap kompetensi yang dimilikinya, dengan berbagai kelebihan serta
kekurangan yang dimilikinyaakan terus bergerak maju dan tidak akan kembali ke
masa yang telah lalu. Lingkaran menggambarkan sebuah hubungan saling melengkapi
satu dengan lainnya yaitu antara metode maupun model pembelajaran didasarkan
pada teori belajar yang telah ada. Teori-teori belajar yang telah dijelaskan di
atas saling terkait satu dengan lainnya sehingga dalam pengggunakan guru memilih
yang sesuai dengan perkembangan siswa. Spiral yang digambarkan diatas sebagai
hermenetika yang dapat diartikan bahwa komponen yang ada pada garis lurus serta
lingkaran merupakan suatu interaksi yang terus berkelanjutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abras, C.,
Maloney-Krichmar, D., Preece, J. (2004). User-centered design. W.
Encyclopedia of Human-Computer Interaction. Thousand Oaks: Sage
Publications. Retrieved January 25, 2008 from http://www.ifsm.umbc.edu/~preece/Papers/User-centered_design_encyclopedia_chapter.pdf
Anderson,
T. (2004). Chapter 2: Toward a theory of online learning theory and practice of
online learning (Anderson, T., & Elloumi, F., Eds.) (33-59). Retrieved
November 20, 2007, from http://cde.athabascau.ca/online_book/ch2.html
Bates,
Reid. (2004) A critical analysis of
evaluation practice: The kirkpatrick model and the practice of beneficence.
Evaluation and Program Planning, 27, 341-347.
Bleuel,
D., & Peloso, C. (2002, July 11). Gav
and Peloso's interactive story.Retrieved February 25, 2008, from http://www.nuc.berkeley.edu/~gav/wayfarence/.
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A
social cognitive theory. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
Bandura,
A. 1977a. Self-Efficacy: Toward a
unifying theory of behavior change. Psychological Review, 84, hal.
191-215
Baran, S.J
& D.K. Davis. 2000. Mass
Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. 2nd edition.
Belmon, CA: Wadsworth
Baranowsky,
T, C.L. Perry & G.S. Parecel. 1997. How
Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive
Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health
Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. San
Francisco: Jossey-Bass
Beatty, K. (2002). Describing and enhancing collaboration at
the computer. Canadian Journal of Learning and Technology, 28. Retrieved
February 20, 2007 from http://www.cjlt.ca/content/vol28.2/beatty.html
Bruffee, Kenneth
(1993). Collaborative Learning. Baltimore: The Johns Hopkins University
Press. pp. 28–51.
Capra,
F. (2005). Complexity and life. Theory, Culture & Society, 22(5), 33-44.
Chapman,
Alan. (2007) Kirkpatrick’s Learning and
Training Evaluation Model. Retrieved Feb 7, 2009 from http://www.businessballs.com/kirkpatricklearningevaluationmodel.htm
Chen, G., & Chiu, M. M.
(2008). Online Discussion Processes.
Computers and Education, 50, 678 – 692.
Chiu, M. M. (2000). Group problem solving processes: Social interactions
and individual actions. for the Theory of Social Behavior, 30, 1, 27-50.600-631.
Chiu, M. M. (2004). Adapting teacher interventions to student needs during
cooperative learning. American
Educational Research Journal, 41, 365-399.
Chiu, M. M., & Khoo, L.
(2005). A new method for analyzing sequential processes: Dynamic multi-level analysis.
Small Group Research, 36, 600-631.
Chiu, M. M. (2008).Flowing toward correct contributions during groups'
mathematics problem solving: A statistical discourse analysis. Journal of the Learning
Sciences, 17 (3), 415 - 463.
Chiu, M. M. (2008). Effects of Argumentation on group micro-creativity. Contemporary
Educational Psychology, 33, 383 –
402.
Clark,
Donald. (2007). Instructional system
development – evaluation phase. Retrieved Feb 7, 2009 from http://www.skagitwatershed.org/~donclark/hrd/sat6.html
Crone,
Glen. (2005). Evaluation of Executive Training.
Treasury Board of Canada Secretariat Retrieved Feb 20, 2009 from http://www.tbs-sct.gc.ca/eval/pubs/eet-efcs/eet-efcs_e.asp.
Dick,
Walter. (2002). Chapter 11 Evaluation in
Instructional Design: The impact of kirkpatrick’s four-level model. In
Robert Reiser & John Dempsey (Eds.), Trends and issues in instructional
design and technology (pp. 145-153). Prentice Hall.
Drexler,
W. (2008, November 26). Networked Student [Video file]. Retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=XwM4ieFOotA
Donald
L. Kirkpatrick [image file]. Retrieved Feb 27, 2009 from http://www.amanet.org/editorial/webcast/2007/effective-training.htm
Downes,
S. (2008). Placed to go: Connectivism
& Connective Knowledge. Innovate
5 (1). Retrieved from http://www.innovateonline.info/index.php?view=article&id=668
Ertmer,
P. A., Newby, T. J. (1993). Behaviorism,
cognitivism, constructivism: Comparing critical features from an instructional
design perspective. Performance
Improvement Quarterly, 6 (4), 50-70.
Four
Levels of Evaluation [image file]. Retrieved Feb 27, 2009 from http://c2workshop.typepad.com/
Fraser,
S. W., & Greenhalgh, T. (2001). Coping
with complexity: Educating for capability. BMJ (Clinical Research Ed.),
323(7316), 799-803
Furnish,
T. (2008). Superstory. Retrieved February 28, 2008, from http://www.hungrysoftware.com/#/online/story/.
Gonzalez,
C. (2004). The role of blended learning in the world of technology.
Retrieved from http://www.unt.edu/benchmarks/archives/2004/september04/eis.htm
Graham, G. (2007). Behaviorism. The Stanford Encyclopedia
of Philosophy. Retrieved January 27, 2008 from, http://plato.stanford.edu/archives/fall2007/entries/behaviorism/ .
Gredler,
M. E. (2005). Learning and instruction:
Theory into practice (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education
Harding-Smith, T. (1993).
Learning together: An introduction to collaborative learning. New York, NY:
HarperCollins College Publishers.
Heinich,
R., Molenda, M., Russel, J.D., & Smaldino, S.E. (1996). Instructional media and technologies for
learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Innovative
Technology for Collaborative Learning and Knowledge Building
(ITCOLE) project. Retrieved from the World Wide Web on February 28, 2009 at http://www.euro-cscl.org/site/itcole/
Katz-Hass,
R. & Trutchard, A. (1998). Ten
Guidelines for User-Centred Web Design. Usability Interface, Vol 5, No. 1.
Kaufman,
R., Keller, J. & Watkins, R. (1995). What works and what doesn’t:
Evaluation Beyond Kirkpatrick. Performance and Instruction, 35(2), 8-12.
Kirkpatrick,
D. L. (1996). Techniques for Evaluating
Training Programs. In Donald P. Ely, & Tjeed Plomp (Eds). Classic
writings on instructional technology (pp.119-141). Libraries Unlimited.
Kumar, M. & Natarajan,
U. (2007) 'A problem-based learning
model: showcasing an educational paradigm shift', Curriculum Journal, 18:1,
89 – 102.
Lankshear,
C., & Knobel, M. (2008). The
“twoness” of learn 2.0: Challenges and prospects of a would-be new learning
paradigm. Closing keynote presented at the Learning 2.0: From Preschool to
Beyond, Montclair State University, Montclair, NJ.
Lee, C.D. and Smagorinsky, P.
(Eds.).(2000). Vygotskian perspectives on literacy research: Constructing
meaning through collaborative inquiry. Cambridge, England: Cambridge University
Press.
Mergel, B. (1998). Instructional design & learning
theory. Retrieved February 18, 2007 from http://www.usask.ca/education/coursework/802papers/mergel/brenda.htm#Behaviorism
Myers, D. G. (1995). "Psychology: Fourth Edition".
New York: Worth Publishers.
Mayer,
R. (2004). "Should there be a three-strikes rule against pure discovery
learning? The case for guided methods of instruction". American
Psychologist 59 (1): 14–19. doi:10.1037/0003-066X.59.1.14.
PMID 14736316.
Miller, P.H. (2002).
Theories of Developmental Pyschology 4th Ed. (pp.367-396; Vygotsky’s
Socio-Cultural Approach). New York: Worth.
Mitnik, R., Recabarren,
M., Nussbaum, M., & Soto, A. (2009). Collaborative
Robotic Instruction: A Graph Teaching Experience. Computers & Education,
53(2), 330-342.
Norman, D. (1988). The Pychology of Everyday
Things. New York: Doubleday.
Oxford, R. (1997). Constructivism: shape-shifting, substance, and teacher education
applications. Peabody journal of education, v.
72 (n1), p35. Retrieved Sunday, March 04, 2007 from the ERIC database.
Paradise, R. (1985). Un análisis psicosocial de la motivación y
participación emocional en un caso de aprendizaje individual. Revista
Latinoamericana de Estudios Educativos, XV, 1, 83-93.
Phelps,
R., Hase, S., & Ellis, A. (2005). Competency, capability, complexity and
computers. British Journal of Educational Technology, 36(1), 67-84.
Siemens,
G. (2005). Connectivism: Learning as network-creation. American Society for
Training & Development. Retrieved from http://www.astd.org/LC/2005/1105_seimens.htm
Siemens,
G. (2004). Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age.
Retrieved from http://www.elearnspace.org/Articles/connectivism.htm
Siemens,
G. (n.d.). About: description of connectivism. Retrieved from http://www.connectivism.ca/about.html
Siemens,
G. (2006). Connectivism – Learning Theory or Pastime for the Self-Amused?
Retrieved from http://www.elearnspace.org/Articles/connectivism_self-amused.htm
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice.
Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Sloman,
Martyn. (2008). The value of learning. ASTD 2008 International Conference and
Exposition. Retrieved on Feb 15, 2009 from http://www.astd2008.org/PDF/Speaker%20Handouts/ice08%20handout%20M120.pdf
Smith, B. L., &
MacGregor, J. T. (1992). “What Is Collaborative Learning?". National Center on
Postsecondary Teaching, Learning, and Assessment at Pennsylvania State
University.
Sorensen, E. K. (2005). Networked elearning and collaborative
knowledge building: Design and facilitation. Contemporary Issues in Technology
and Teacher Education, 4(4), 446-455.
Stahl, G. (2000). A Model of Collaborative Knowledge-Building. In B. Fishman & S.
O'Connor-Divelbiss (Eds.), Fourth International Conference of the Learning
Sciences (pp. 70-77). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Stahl, G. (2002). A Model of Collaborative Knowledge-Building: A Slide Presentation.
Retrieved from the World Wide Web on February 28, 2009 athttp://www.ischool.drexel.edu/faculty/gerry/publications/conferences/2000/icls/slides_files/frame.htm#slide0001.htm
Stahl, G. (2002).Webguide: Encouraging and Supporting Collaborative
Knowledge-building: A Slide Presentation. Retrieved from the World Wide Web
on February 28, 2009 athttp://www.cis.drexel.edu/faculty/gerry/publications/conferences/2000/aera2000/aera2000_files/frame.htm
Sungur, S., Tekkaya, C., & Geban, O. (2006). Improving Achievement
Through Problem-Based Learning. Journal
of Biological Education, 40 (4), 155 – 160.
University
of Alberta. Complexity and education.
Retrieved February 25, 2008, from http://www.complexityandeducation.ualberta.ca/glossary.htm.
Vianna,
E. & Stetsenko, A.(2006). Embracing
history through transforming it: contrasting Piagetian versus Vygotskian
(Activity) theories of learning and development to expand contructivism within
a dialectical view of history. Theory
& Psychology. Sage Publications. Vol. 16(1): 81–108.
Verhagen,
P. (2006). Connectivism: A new learning theory? Retrieved from http://elearning.surf.nl/e-learning/english/3793
Vygotsky,
L.S. (1978). Mind and society: The
development of higher mental processes. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Wikipedia.
Evaluation. Retrieved on Feb 27, 2009 from http://en.wikipedia.org/wiki/Evaluation
Wolman, Benjamin B. (1973). Handbook of General
Psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Woolfolk,
A. E., Winne, P. H., & Perry, N. E. (2000). Educational Psychology, Canadian Edition. (pp. 42-48; Cognitive
Develoment and Language). Scarborough: Allyn and Bacon Canada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar