Senin, 13 April 2015

Review Teori-Teori Belajar



A.    REVIEW TEORI-TEORI BELAJAR
1.        Behaviorism Theory/Teori Behaviorisme
a.       Pengertian
Dalam teori behaviorisme, perilaku menjadi hal yang diamati , diuji dan diverifikasi. Behaviorisme suatu paham yang memusatkan perhatian tentang bagaimana stimulus-stimulus lingkungan menyebabkan perubahan perilaku-perilku (respons) seseorang. Memahami sudut pandang behavioristik dapat memberikan manfaat bagi guru dalam menggunakan teori behavioristik untuk memahami dan membantu siswa memperoleh perilaku yang mungkin lebih kompleks, produktif, dan prososial. Teknik behavioris yang digunakan di dalam kelas untuk membentuk perilaku, terutama ketika berhadapan dengan menajemen kelas. Guru menggunakan berbagai cara yang positif, seperti memberikan penghargaan dan pujian untuk memperkuat perilaku positif pada siswa dan hukuman untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan.
b.      Sejarah Behaviorisme
Perkembangan teori behaviorisme tidak terlepas dari beberapa tokoh yang memberikan sumbangan pemikirannya, yaitu:
·      Ivan Pavlov (1849-1936)
Ivan Pavlov terkenal dengan teori pengkondisisan klasik. Dia menyimpulkan bahwa anjing akan mengelaurkan air liur liur (respon berkondisi) jika menerima makanan (stimulus berkondisi). Pavlov menemukan bahwa dengan dering bel (stimulus netral) setiap kali dia memberi daging (stimulus berkondisi) untuk anjing, anjing akhirnya akan mengeluarkan air liur (respon) dari hanya mendengar bel (stimulus).
·      John B Watson (1878-1958)
John B Watson terkenal dengan teori pengkondisian operan. Dia Meneliti seorang anak kecil bernama Albert bermain dengan tikus putih. Saat Albert sedang bermain dia menggedor boks Albert dengan palu, hal ini menyebabkan Albert menangis. Kemudian Watson mengulangi hal itu hingga tujuh kali sehingga Albert mengeluarkan respon emosional berupa ketakutan yang disebabkan hanya dengan melihat tikus.
·      Burrhus Frederick Skinner (1904-1990)
Skiner terkenal dengan teori behaviorisme radikal. Dia meneliti bagaimana imbalan dan hukuman mempengaruhi perilaku. Dalam penelitiannya menempatkan tikus dalam kotak dengan tuas. Jika tikus mendorong tuas, tikus akan mendapat makanan. Akhirnya tikus belajar bahwa menekan tuas meghasilkan hadiah berupa makanan (Myers:1995). Dalam Wolman:1973 menyebutkan bahwa penggunaan computer meningkatkan pengalaman belajar bagi banyak siswa. Dalam penggunaan pelatihan berbasis komputer (CAT) atau instruksi berbantuan computer (CAI) maka siswa akan memperoleh pengetahuan dan berusaha melakukan yang terbaik. Sehingga dengan ini siswa dapat maju melalui kurikulum dengan kecepatan sendiri.
c.       Aplikasi teori Behaviorisme
Teknik behavioris yang digunakan di dalam kelas untuk membentuk perilaku, terutama ketika berhadapan dengan menajemen kelas. Guru menggunakan berbagai cara yang positif, seperti memberikan penghargaan dan pujian untuk memperkuat perilaku positif pada siswa dan hukuman untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan.
d.      Kritik dari Behaviorisme
·      Dalam Beatty (2002) bahwa pembejaran dengan menerapkan teori behaviorisme terlalu banyak menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran.
·      Dalam Mergel (1998) bahwa behaviorisme tidak terlihat memiliki manfaat apapun untuk belajar/dalam pembelajaran. Karena dalam behaviorisme siswa dilatih untuk menerima umpan balik langsung dengan demikian mereka hanya termotivasi sisi eksternalnya.
·      Dalam Graham (2007) Behaviorisme mengabaikan fungsi-fungsi internal yang terdapat pada ptak yang meliputi motivasi, memori dan pemahaman.
2.    Social Cognitive Theory (Teori Kognitif Sosial)
Albert Bandura mengembangkan Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory). Bandura (1986) mengembangkan dan mendefinisikan teori sosial kognitif yang menjelaskan bahwa orang-orang tidak hanya didorong oleh kekuatan batin namun secara otomatis dibentuk dan dikendalikan oleh rangsangan eksternal. Dalam model ini, yang dapat divisualisasikan sebagai sebuah segitiga sama sisi, perilaku, kognitif dan faktor personal lainnya dan peristiwa lingkungan semua beroperasi sebagai penentu berinteraksi satu sama lain. Sifat orang kemudian didefinisikan dalam perspektif triadic ini. Sehingga individu dipandang sebagai individu yang unik yangberbeda dengan yang lain.

Timbal balik merujuk pada aksi saling sementara determinisme menandakan produksi efek. Karena banyaknya berinteraksi pengaruh dalam tiga serangkai, kondisi yang berbeda dapat menyebabkan atau membantu efek yang berbeda.Bandura telah mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif dan behavioral yang memengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial.
Konsep utama dari teori kognitif sosial adalah obvervational learning atau proses belajar dengan mengamati. Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang "pengamat" untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dipunyainya untuk menampilkan perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut dengan self-efficacy atau efikasi diri (Bandura1977) dan hal ini dipandang sebagai sebuah prasayarat kritis dari perubahan perilaku.
Jika ada seorang "model" di dalam lingkungan seorang individu, misalnya saja teman atau anggota keluarga di dalam lingkungan internal, atau di lingkungan publik seperti para tokoh publik di bidang berita dan hiburan, proses belajar dari individu ini akan terjadi melalui cara memperhatikan model tersebut. Terkadang perilaku seseorang bisa timbul hanya karena proses modeling. Modeling atau peniruan merupakan "the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis (Baran & Davis, 2000: 184). Sebagai contoh, ketika seorang ibu mengajarkan anaknya bagaimana cara memasang kancing baju dengan memeragakannya berulang kali sehingga si anak bisa memasang kancing bajunya sendiri, maka proses ini disebut proses modeling. Teori kognitif sosial kembali ke konsep dasar "rewards and punishments" (imbalan dan hukuman) tetapi menempatkannya dalam konteks belajar sosial.
Teori kognitif sosial juga mempertimbangkan pentingnya kemampuan sang "pengamat" untuk menampilkan sebuah perilaku khusus dan kepercayaan yang dipunyainya untuk menampilkan perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut dengan self-efficacy atau efikasi diri (Bandura1977) dan hal ini dipandang sebagai sebuah prasayarat kritis dari perubahan perilaku.
Teori Kognitif Sosial memberikan sebuah penjelasan tentang bagaimana perilaku bisa dibentuk melalui pengamatan pada model-model yang ditampilkan oleh media massa. Efek dari pemodelan ini meningkat melalui pengamatan tentang imbalan dan hukuman yang dijatuhkan pada model, melalui identifikasi dari khalayak pada model tersebut, dan melalui sejauh mana khalayak memiliki efikasi diri tentang perilaku yang dicontohkan di media.
3.    Cognitive Information Processing (Proses Informasi Kognitif)
Dalam proses informasi kognitif dapat diartikan sebagai sebuah teori tentang proses penerimaan informasi kognitif, didalamnya mencakup situated cognition/learning theory, knowledge forum, Components of Cognitive Apprenticeship: Scaffolding dan complexity theory. Situated cognition/learning theory merupakan teori yang dikemukakan oleh Etienne Wenger yang menyajikan premis di belakang dasar-dasar teori kognisi terletak sebagai berikut:
a.       Kami adalah makhluk sosial. Jauh dari sepele benar, fakta ini merupakan aspek penting dari pembelajaran.
b.      Pengetahuan adalah masalah kompetensi sehubungan dengan usaha dihargai, seperti menyanyi selaras, menemukan fakta-fakta ilmiah, memperbaiki mesin, menulis puisi, yang ramah, tumbuh sebagai anak laki-laki atau perempuan, dan sebagainya.
c.        Mengetahui adalah masalah berpartisipasi dalam mengejar perusahaan tersebut, yaitu, keterlibatan aktif di dunia.
d.      Arti - kemampuan kita untuk mengalami dunia dan keterlibatan kami dengan itu bermakna - sebenarnya untuk apa belajar adalah untuk menghasilkan (Wenger, 1998, hal.4, di Driscoll, 2005, p.164).

Pengetahuan adalah kolaboratif, asynchronous, software pendidikan yang dirancang untuk membantu dan membangun pengetahuan dukungan pedadogies, praktek dan masyarakat. Ini adalah program sosial konstruktivis yang tujuannya adalah untuk mendorong pola wacana mahasiswa yang membangun pengetahuan bermakna dan membentuk koneksi alami untuk dunia nyata. Buku itu diciptakan oleh Marlene Scardamalia dan Carl Bereiter pada tahun 1995 dan didasarkan pada lebih dari 15 tahun penelitian di Ontario Institute untuk Studi Pendidikan di Universitas Toronto.
Lebih khusus, sebuah bangunan Pengetahuan Masyarakat yang efektif:
  1. Fokus pada masalah, bukan topik: pengetahuan maju melalui wacana dalam upaya untuk memahami konsep-konsep dan menyelesaikan perbedaan.
  2. Menekankan desentralisasi, demokratis dan terbuka membangun pengetahuan, dengan fokus pada pengetahuan kolektif. Hal ini terjadi melalui interaksi sosial yang konstruktif dengan orang lain yang terlibat dalam masalah yang sama atau terkait.
  3. Membutuhkan bahwa anggota yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan masyarakat tetap terlibat dalam proses pengetahuan membangun tetapi tidak harus menempatkan batasan ruang lingkup penyelidikan.
  4. Partisipasi nilai anggota yang kurang berpengetahuan 'karena menentukan kesenjangan, kekurangan, kesulitan dalam pengetahuan yang diciptakan.
  5. Melibatkan komunitas pengetahuan yang lebih luas daripada yang terlibat dalam masalah lokal saat ini, membawa dilihat dari peserta masyarakat di seluruh dunia.
  6. Mendukung lingkungan di mana kontribusi seseorang dapat menentukan apa kontribusi akan mengikuti, sehingga mengubah arah wacana dan pengetahuan dibangun.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Membangun Komunitas Pengetahuan menekankan pembangunan ide-ide baru melalui kolaboratif, wacana demokrasi dalam lingkungan belajar. Sosial budaya KBC menyediakan kesempatan dan alat untuk peserta untuk menciptakan pengetahuan baru yang terus berkembang dan yang jutaan peserta didik dapat berkontribusi.
Sesuai dengan Zona Vygotsky Pembangunan Proximinal (ZPD), perancah memungkinkan pelajar untuk memindahkan tugas dari ZPD mereka ke Zona mereka Aktual Pembangunan (ZAD). Wood, Bruner, dan Ross (1976, seperti yang dikutip oleh Rollins Burch, 2007) pertama kali digunakan istilah ini untuk menggambarkan pembelajaran bahasa cara orang tua difasilitasi pada anak-anak mereka. Perancah digambarkan sebagai sistem pendukung yang membantu anak-anak mencapai sukses pada tugas-tugas yang terlalu sulit bagi mereka untuk mencapai sendiri. Zona Vygotsky Pengembangan proksimal (ZPD) merupakan daerah antara apa yang seseorang dapat mencapai perkembangan dalam hal pemecahan masalah pada titik tetap dalam waktu (snapshot), dan apa yang mereka dapat mencapai dengan menggunakan potensinya melalui pemecahan masalah dengan bantuan seseorang lebih mampu (pembangunan berkelanjutan), (Vygotsky, dikutip dalam Miller, 2002).
Bruner Teori ini dibangun di atas karya Vygotsky . Sebuah tingkat pelajar pembangunan sebenarnya scaffolded dengan tingkat perkembangan potensi mereka. Perancah adalah jenis tertentu guru (atau lebih dikenal lainnya, MKO) dukungan yang membantu pelajar mencapai tugas yang mereka tidak akan mampu mencapai tanpa bantuan; bantuan yang diberikan hanya pada saat dibutuhkan, yang dirancang untuk membantu pekerjaan pelajar dengan meningkatkan kemandirian.
Teori kompleksitas dalam Capra (2005) menjelaskan bahwa model yang kompleks, sistem non-linear, dan "mengembangkan  serta melihat hidup dengan mengintegrasikan dimensi biologis, kognitif dan sosial kehidupan" ; yaitu, memahami gambaran besar tidak dengan melihat bagian-bagian, tetapi interaksi di antara mereka. Premis dasar Kompleksitas Teori adalah bahwa sistem non-linear tidak bisa ditebak, karena seringnya berinteraksi memperoleh sifat kolektif dan dengan demikian sistem menjadi lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya (Phelps, Hase & Ellis, 2005, hal. 72).
Teori kompleksitas juga merupakan sebuah Teori Sistem, yang menggambarkan kehidupan sebagai lingkungan yang selalu berubah. Variabel dalam suatu sistem dapat berubah dan mempengaruhi hasil dalam cara yang tak terduga. Perubahan tidak mengikuti jalur linear diprediksi. Sebaliknya itu cabang di banyak arah yang membentuk jalur non-linear yang kompleks. Pendidikan tradisional dirancang untuk jalur linear dengan hasil diprediksi. Pendidikan perlu berevolusi untuk beradaptasi dengan jalur non-linear yang kompleks untuk membantu peserta didik untuk mengadopsi perubahan seperti yang telah terjadi. Hyperlink Internet memungkinkan pembaca untuk mengetahui cabang dari arah yang berbeda dan memberikan contoh yang baik dari kompleksitas yang mirip dengan proses pemikiran manusia.
4.        Meaning Full Learning Theory (Pembelajaran yang Bermakna)
Pembelajaran sebagi proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Sehingga kegiatan pembelajaran yang menyenangkan serta bermakna akan menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi siswa khususnya untuk meningkatkan motivasi mereka agar mau belajar. Jika penyajian pembelajaran tidak dilaksanakan secara bermakna maka siswa akan menjadi kurang tertarik / tidak berminat dalam mengikuti pembelajaran. 
Untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna maka model pembelajaran yang akan diterapkan guru pun menyesuaikan, salah satunya yaitu melalui Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan sebuah pendekatan belajar kontruktivisme yang menjadikan siswa sebagai pusat belajar. Sehingga bentuk pembelajarannya aktif yang mencakup tiga definisi yaitu:
a.    Pembelajaran dirancang secara relevan sesuai dengan kemampuan siswa dan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan menyediakan berbagai startegi pemecahan masalah.
b.    Siswa belajar dalam lingkungan yang melibatkan kempuannya sendiri serta partisipasinya dalam kelompok kecil. Sehingga besar sekalli partisipasi siwa dalam pembelajaran dan peran guru memfasilitasi belajar siswa.
c.    Penialaian dan Evaluasi memainkan peran penting dalam model PBL.  Dalam M. Kumar & U. Natarajan (2007) menyebutkan bahwa tugas guru dapat menggabungkan alat penilaian/evaluasi dalam lingkungan belajar siswa.

                                                  
                                                               Bagan Model PBL


 

 
Terdapat beberapa pedoman desain masalah dalam model PBL sebagai berikut:
a.    Masalah harus didasarkan sekitar skenario umum di lapangan.
b.     Masalah harus menyediakan pedoman bagi siswa yang terdiri atas berbagai keterampilan.
c.     Masalah harus dirancang agar dapat mengangkat topic penyelidikan untuk mencakup kedua tingkat kognisi dan meta kognisi.
d.   Menyediakan berbagai informasi tambahan.
e.    Tutor atau fasilitator tidak harus seorang ahli, dapat diambil dari siswa yang lebih pandai yang dapat mengidentifikasi topic yang siswa harus bahas dalam sesi kelompok dan menuntun mereka dalam diskusi.
f.      Materi visual juga dapat disertakan dalam masalah meskipun itu tergantung pada sumber daya yang tersedia.
g.     Masalah harus menangani masalah-masalah nyata yaitu meliputi tiga alasan yaitu:
·      Masalah yang benar-benar sulit akan membuat siswa semakin kaya dalam mencari solusi infromasi pemecahannya.
·      Masalah nyata dapat memotivasi siswa untuk belajar.
·      Pada akhirnya siswa ingin belajar dari hasil permasalahan tersebut.
h.     Dalam merancang masalah harus yang memiliki solusi yang jelas, dari yang sederhana menuju yang lebih rumit.
i.       Masalah harus membangun pengetahuan sebelumnya agar siswa termotivasi secara efektif untuk memecahkan maslah.
j.       Belajar dalam kelompok kecil adalah metode yang paling bermanfaat bagi siswa untuk bekerja dalam tim.
Dalam Sungur et al (2006) menyebutkan bahwa tujuan dari PBL adalah untuk mempersiapkan siswa agar siap untuk pengaturan yang benar untuk hidup serta meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan cara mengharuskan siswa untuk berpikir tentang masalah kritis dan menganalisis data untuk menemkan solusi. Matematika adalah ilmu pengetahuan yang banyak diterapkan dalam kehidupan manusia. Pendekatan PBL membantu siswa untk mempersiapkan siswa berpikir kritis dan analitis sehingga pengetahuan yang dipelajari melalui sekolah dapat diterapkan dengan lebih baik di dunia nyata. Berikut adalah beberapa manfat PBL dalam pendidikan matematika yaitu:
a.       Melatih kemandirian dan tanggung jawab siswa.
b.      Memberikan siswa berbagai permaslah yang realistis yang sesuai dengan konteks tertentu.
c.       Menunjukkan siswa bahwa ada lebih dari satu cara untuk memecahkan masalah.
d.      Meningkatkan kerja kelompok atau kolaborasi dalam matematika.
e.       Meningkatkan motivasi diri dan berpikir kritis.
f.       Membantu siswa menunjukkan pemahaman dan pengertahuan mereka dalam cara yang non tradisional.
g.      Mendorong pembelajaran seumur hidup.
Dari sinilah dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa model PBL pada berbagai mata pelajaran khususnya matematika memberikan kepada siswa sebuah pembelajaran yang bermakna. Ketika siswa telah merasakan bahwa pembelajaran ini bermanfaat bagi kehidupannya maka kebermaknaannya dari pembelajaran tersebut akan semakin terasa.
Selain menggunakan PBL dalam desain pembelajaran yang bermakna dapat pula dengan menggunakan Collaborative learning yang bermula dari teori Vygotski, yang menyebutkan adanya ZPD (Zone Proximal Development). Dalam Vianna (2006) menyebutkan bahwa Vygotski berusaha menjelaskan perkembangan anak melalui praktek kolaboratif informatif yang melibatkan pengaruh budaya, alat-alat budaya, dan individu lainnya. Dalam Vygotsky (1978) menyebutkan definisi ZPD yaitu "jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa, atau bekerja sama dengan rekan-rekan yang lebih mampu. Dalam Woolfolk (2000) juga menyebutkan bahwa ZPD adalah area di mana anak tidak bisa memecahkan masalah sendirian tapi berhasil dapat menyelesaikannya di bawah bimbingan atau bekerja sama dengan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih maju - ini adalah di mana pembelajaran yang memungkinkan. Salah satu model pembelajaran yang terkait denganteori ini yaitu melalui collaborative learning. Dengan collaborative learning siswa berlatih bekerjasa, saling membantu dalam menyelesaikan tugas belajar, sehingga tumbuh dalam diri siswa keyakinan (self efficacy) yang kuat untuk dapat menyelesaikan suatu masalah ataupun tugas saat pembelajaran. Didalam collaborative learning juga terdapat pengajaran timbal balik, strategi inilah yang menyediakan cara untuk mengases zona perkembangan proksimal (ZPD). Selain collaborative learning terdapat model pembelajaran untuk mendukung ZPD siswa yaitu melalui partisipasi terpadu, magang, penemuan (mendorong siswa untuk mencoba keterampilan baru, pemodelan, guru juga dapat menggunakan petunjuk serta memberikan pertanyaan terkemuka bagi siswa.
Telah disebutkan di atas bahwa penialaian dan evaluasi memainkan peran penting dalam model PBL. Evaluasi merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Tujuan dari evaluasi pembelajaran adalah memberikan umpan balik tentang pembelajran dan membimbing guru dan siswa untuk membuat tugas-tugas pembelajaran yang tepat.
Dalam sudut pandang kontruktivifisme evaluasi dapat dilaksanakan melalui penilaian formatif, sumatif dan penilaian diri. PBL termasuk model pembelajaran dengan pendekatan kontruktivis  sehingga bentuk evaluasi cenderung subyektif dalam proses pembelajarannya pun siswa mencapai pengetahuan dengan mengkonstruk pengetahuan itu sendiri. Evaluasi kontruktivisme berfokus pada poses belajar individu dalam mencapai proses penciptaan pengnetahuan. Setiap pelajar yang dianggap berbeda dengan kekuatan individu, kelemahan, dan pengetahuan sebelumnya dan pengalaman. Evaluasi berfokus pada bagaimana peserta didik mampu mempelajari materi baru melalui menghubungkan dengan pengetahuan sebelumnya untuk membuat ikatan abadi dalam pikiran pembelajar. Melalui hubungan ini, siswa dievaluasi pada kemampuan mereka untuk menerapkan pembelajaran dengan konteks kehidupan nyata sehingga pengetahuan yang didapatkanakan semakinkuat dalam pikiran siswa.
5.        Developmental Approach (Teori Pendekatan Perkembangan)
Teori Developmental Approach, merupakan teori belajar anak berdasarkan tahap tumbuh kembang si anak. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget, bahwa anak-anak bisa mengembangkan kognisi dan pengetahuan melalui serangkaian tahap perkembangan. Untuk berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya, melalui penggunaan asimilasi, akomodasi, dan keseimbangan, keuntungan dan membangun schemata, yang ditransfer ke tahap berikutnya dan dibangun lebih lanjut atas secara constructionivst (wikipedia.org). Syarat utama terjadinya proses pengembangan kognitif dan pengetahuan menurut Piaget:
·         Asimilasi : Memasukkan struktur logis baru (atau skema) ke yang sudah ada bahwa kita kemudian berlaku untuk dunia di sekitar kita.
·         Akomodasi : Memodifikasi struktur logis atau skema untuk kesepakatan yang lebih baik dengan lingkungan.
·         Equalibriation: Keseimbangan antara struktur kognitif asimilasi dan akomodasi dalam mencapai pengetahuan,
·         Egosentrisme : Kegagalan untuk memahami bagaimana titik orang lain pandang mungkin berbeda dari mereka sendiri. Penelitian Piaget menunjukkan fakta bahwa egocentrisim paling menonjol sebelum usia enam atau tujuh. Namun, kemudian penelitian Piaget, serta yang lain peneliti, telah memperkirakan bahwa egosentrisme dapat timbul pada setiap tahap perkembangan, tetapi dalam bentuk yang baru dan berbeda. 



Empat tahap perkembangan menurut piaget:
1.    Tahap sensori-motor (0 – 2 tahun)
·         Kecerdasan ini ditunjukkan melalui aktivitas motorik tanpa menggunakan simbol-simbol.
·         Pengetahuan tentang dunia terbatas karena didasarkan pada interaksi fisik / pengalaman.
·         Anak-anak mendapatkan objek permeance sekitar 7 bulan.
·         Pembangunan fisik (mobilitas) memungkinkan anak untuk mulai mengembangkan kemampuan intelektual baru.
·         Beberapa simbolik (bahasa) kemampuan yang dikembangkan pada akhir tahap ini
2.    Tahap pra operasional (2-7 tahun)
·         Intelijen ditunjukkan melalui penggunaan simbol-simbol, penggunaan bahasa dewasa, dan memori dan imajinasi dikembangkan.
·         Berpikir dilakukan dalam nonlogical, cara nonreversable.
·         Dominan Berpikir egosentri
3.    Tahap operasional konkret ( 7-11 tahun)
·         Kecerdasan ini ditunjukkan melalui manipulasi logis dan sistematis simbol yang berkaitan dengan benda-benda konkrit.
·         Pemikiran operasional berkembang (tindakan mental yang bersifat reversibel).
·         Pemikiran egosentris berkurang
4.    Tahap operasional formal (11 tahun-dewasa)
·      Kecerdasan ini ditunjukkan melalui manipulasi logis dari simbol yang berkaitan dengan konsep-konsep abstrak.
·      Pada awal periode ini ada kembali ke pemikiran egosentris.
·      Banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini.
Sehingga dari tahap-tahap perkembangan diatas siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret. Disinilah posisi guru berperan dalam menyajikan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan benda-benda konkret untuk membantu siswa memahami materi pelajaran yang diajarkan.
Dalam Pemilihan model pembelajaran diutamakan yang dapatmengaktifkan siswa misalnya melalui PBL (Problem Based Learning). Dalam teori  PBL diidentifikasikan  sebagai strategi untuk belajar aktif dan berbasis pada sebuah masalah. Siswa mengambil lebih banyak tanggung jawab dalam lingkungan belajar ini aktif saat guru memfasilitasi. Karena kenyataan bahwa "lingkungan PBL biasanya didasarkan pada prinsip-prinsip konstruktivisme" adalah penting bagi desainer untuk menggabungkan berpikiran alat penilaian / evaluasi dalam lingkungan belajar mereka (M. Kumar & U. Natarajan, hal.94). Asal usulnya adalah di tahun 1970-an di McMaster University Fakultas Kedokteran. Sebagai kelompok kecil siswa bekerja melalui kasus (Masalah) mereka menghasilkan pertanyaan dan menyelidiki pengetahuan mereka sebelum mencoba membuat hipotesis untuk menjelaskan fenomena di bawah analisis. Para siswa mengembangkan masalah pembelajaran di daerah di mana pengetahuan mereka tidak cukup. Antara sesi yang masalah pembelajaran yang diteliti dan masalah tersebut diperbaiki pada sesi berikutnya sampai siklus masalah selesai. Instruktur ada untuk membantu memfasilitasi eksplorasi siswa dengan mengajukan jarang pertanyaan membimbing . Ini fasilitator tidak perlu menjadi ahli konten pada masalah (Barrows, p 43) Ada paket guru yang menyediakan informasi yang diperlukan tentang kasus ini dan memberikan beberapa. pertanyaan membimbing . Karena "Masalah" yang mendorong pembelajaran, mengembangkan masalah yang baik merupakan dasar yang efektif PBL Program.

6.        Social Formation Theory (Teori Formasi Sosial)
Dalam Teori formasi sosial mencakup social learning theory, collaborative knowledge building model, connectivism, ZPD, collaborative learning, dan teori modeling. Inti dari teori formasi sosial adalah bahwa pembelajaran melibatkan suatu lingkungan ataupun sebuah komunitas belajar yang saling terkait dan saling memberikan bantuan demi kemajuan bersama. Atau dengan kata lain pembelajaran dengan cara berkolaborasi.
Pembelajaran kolaboratif adalah suatu keadaan di mana dua atau lebih orang belajar sesuatu secara bersama-sama. Dalam Dillenbourg (1999) Pembelajaran Kolaboborative tidak seperti belajar individu, orang yang terlibat dalam pembelajaran kolaboratif memanfaatkan satu sama lain sumber daya dan keterampilan (Chiu: 2000). Menurut Chiu (2008) pembelajaran kolaboratif didasarkan pada model bahwa pengetahuan dapat dibuat dalam populasi di mana anggota aktif berinteraksi dengan berbagai pengalaman dan mengambil peran asimetri. Pembelajaran kolaboratif mengacu pada metodologi dan lingkungan di mana peserta didik terlibat dalam tugas umum di mana setiap individu tergantung dan bertanggung jawab satu sama lain (Mitnik: 2009). Termasuk di dalamnya percakapan tatap muka (Chiu: 2008) dan diskusi komputer (forum online, chat room, dll.).
 Dasar dari Pembelajaran kolaboratif yaitu pada pandangan Vygotsky bahwa ada sifat sosial yang melekat pembelajaran yang ditunjukkan melalui teori Zone of Proximal Development (ZPD). Seringkali, pembelajaran kolaboratif digunakan sebagai istilah umum untuk berbagai pendekatan dalam pendidikan yang melibatkan upaya intelektual bersama oleh siswa atau siswa dan guru (Lee: 2000). Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif umumnya digambarkan ketika kelompok siswa bekerja sama untuk mencari pemahaman, makna, atau membangun pengetahuan mereka (Smith: 1992). Kegiatan belajar kolaboratif dapat mencakup menulis kolaboratif, proyek kelompok, pemecahan masalah bersama, debat, tim studi, dan kegiatan lainnya (Chiu:2004).
Vygotsky berusaha untuk menjelaskan perkembangan anak melalui praktek kolaboratif transformatif yang melibatkan pengaruh budaya, alat-alat budaya, dan individu lainnya (Vianna, 2006). Penekanan pada perkembangan pembelajaran ini adalah kolaborasi, yang mengarah pada Zone of Proximal Development Vygotsky (ZPD). Vygotsky menyatakan bahwa ZPD adalah "jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa, atau bekerja sama dengan rekan-rekan yang lebih mampu. "(Vygotsky, hal. 86, 1978). Dengan bantuan orang lain, siswa akan dapat mencapai pengetahuan lebih dari ketika siswa belajar sendiri. Ide bimbingan telah terlihat, di mana pengetahuan siswa dibangun secara berlapis, dengan masing-masing tingkat instruksi pada lapisan lain (Oxford, 1997). Bimbingan rekan-rekan yang lebih kompeten membantu dalam pengalaman pelajar (Vygotsky, 1978). Kuncinya adalah pada akhirnya peserta didik akan dapat melakukan tugas yang sama terkait atau memahami konsep tanpa bantuan dari rekan atau pendidik.
Pembelajaran kolaboratif terjadi ketika individu secara aktif terlibat dalam sebuah komunitas di mana pembelajaran terjadi melalui upaya kolaboratif eksplisit atau implisit. Pembelajaran kolaboratif sering digambarkan sebagai proses kognitif dimana orang dewasa berpartisipasi sebagai fasilitator pengetahuan dan anak-anak sebagai penerima. Namun, masyarakat Amerika menggambarkan bahwa pembelajaran kolaboratif terjadi karena partisipasi individu dalam belajar terjadi pada bidang horizontal di mana anak-anak dan orang dewasa adalah sama. Menurut Paradise (1985) pembelajaran kolaboratif juga terjadi ketika anak-anak dan orang dewasa terlibat dalam aktivitas bermain, bekerja, dan kegiatan lainnya secara bersama-sama.
7.        Representation and Discovery Learning ( Pembelajaran Representasi dan Penemuan)
Desain pembelajaran yang berpusat pada siswa memerlukan perancangan yang dapat digunakan untuk mengembangkan suatu produk atau system yang akan dapat digunakan serta bermanfaat bagi siswa. Dalam Norman (1988) menyebutkan manfaat dari desain pembelajaran yang berpusat pada siswa yaitu memudahkan untuk menentukan tindakan apa yang mungkin setiap saat, membuat hal-hal yang terlihat seperti konsep, tindakan, dan hasil, memudahkan untuk mengevaluasi keadaan system saat ini, dan membentuk hubungan yang alami serta memberikan tindakan yang tepat. Peran guru/desainer adalah memastika bahwa pengguna dapat memanfaatkan produk sebagaimana yang dimaksud.
Didalam guru membuat sebuah desain pembelajaran diharapkan memenuhi kebutuhan standar isi dan menjawab pertanyaan “apa yang akan diajarkan”. Guru mebutuhkan model pembelajaran yang sesuai dengan standar yang menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pengajaran yang sesuai dengan standar konten serta basis informasi yang kuat. Universal Desain Pembelajaran (UDL) adalah teori pembelajaran yang telah dikembangkan oleh Rose dan Meyer, yang berusaha untuk memastikan bahwa lingkungan belajar, termasuk kurikulum, penilaian dan pengajaran dan alat belajar mempromosikan belajar dan menghilangkan hambatan untuk belajar.
Belajar penemuan adalah teknik pembelajaran berbasis penyelidikan dan dianggap sebagai pendekatan berbasis konstruktivis untuk pendidikan. Hal ini didukung oleh karya teoretisi belajar dan psikolog Jean Piaget, Jerome Bruner, dan Seymour Papert. Meskipun bentuk instruksi memiliki popularitas besar, ada beberapa perdebatan dalam literatur tentang kemanjurannya (Mayer, 2004). Pembelajaran penemuan terjadi dengan memecahkan suatu masalah di mana pelajar mengacu pada pengalamannya sendiri dan pengetahuan sebelumnya dan merupakan metode pengajaran di mana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan mengeksplorasi dan memanipulasi benda, bergulat dengan pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan. Maka pembelajaran berbasis masalah (PBL) sesuai dengan teori discovery learning ini.
8.        Constructivist Approach (Pendekatan Kontruktivitis)

Konstruktivisme adalah sebuah teori tentang bagaimana orang belajar, yang meliputi baik behaviorisme dan teori kognitif. Konstruktivis mengusulkan bahwa orang membangun pemahaman mereka sendiri dan pengetahuan tentang dunia, melalui mengalami hal-hal dan merenungkan pengalaman-pengalaman. Ketika kita menemukan sesuatu yang baru, kita mungkin menggabungkan dengan ide-ide kita sebelumnya dan pengalaman melalui proses asimilasi, atau mungkin mengubah apa yang kita yakini dalam proses akomodasi. Dalam kasus apapun, kita adalah pencipta aktif pengetahuan kita sendiri. Untuk melakukan hal ini, kita harus bertanya, mengeksplorasi, dan menilai apa yang kita tahu.
Di dalam kelas, pandangan konstruktivis belajar dapat menunjuk ke arah sejumlah praktek pengajaran yang berbeda. Dalam pengertian yang paling umum, biasanya berarti mendorong siswa untuk menggunakan teknik aktif (percobaan, pemecahan masalah dunia nyata) untuk membuat lebih banyak pengetahuan dan kemudian untuk merenungkan dan berbicara tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana pemahaman mereka berubah. Guru memastikan dia memahami konsepsi yang sudah ada sebelumnya siswa, dan memandu kegiatan untuk mengatasi mereka dan kemudian membangun pada mereka.
Dalam pembelajaran konstruktivisme juga tidak lepas dari adanya evaluasi. Evaluasi merupakan bagian integral dari proses pembelajaran. Evaluasi dalam tujuan pembelajaran dari guru dan siswa, memberikan siswa dengan umpan balik tentang pembelajaran mereka, dan membimbing guru dan siswa untuk membuat tugas-tugas pembelajaran yang tepat. Evaluasi dapat mengambil bentuk berbagai metode seperti penilaian untuk, seperti, dan belajar (juga dikenal sebagai penilaian formatif , penilaian diri , dan 9http: penilaian sumatif //en.wikipedia.org/wiki/Summative_assessment]). Cukup sering dalam sistem pendidikan saat ini, penilaian sumatif adalah tanda titik-fokus didorong praktek penilaian dan tes standar. Namun, ada baru-baru ini terjadi pergeseran dari metode penilaian sumatif untuk diri dan metode penilaian formatif. Mengemudi perubahan ini adalah keyakinan bahwa siswa harus menjadi peserta aktif dalam pembelajaran mereka, yang mengharuskan mereka untuk menilai proses belajar mereka sendiri. Penilaian alternatif ini didasarkan pada frustrasi dengan metode evaluasi tradisional dan keinginan untuk menciptakan pemahaman yang mendalam dan mengevaluasi kemampuan untuk menerapkan pembelajaran dengan konteks kehidupan nyata (Reeves & Okey, 1996) .
Dari sudut pandang konstruktivis, proses pembelajaran ditekankan atas produk akhir. Evaluasi dalam konstruktivisme sebagai pembelajaran (formatif dan penilaian diri), sebagai lawan evaluasi belajar (penilaian sumatif). Sementara behaviorisme dan kognitivisme fokus pada pengukuran hasil yang spesifik obyektif, konstruktivis cenderung subyektif menilai pekerjaan siswa. Perjalanan dalam mencapai pengetahuan adalah sama pentingnya dengan pengetahuan itu sendiri.
Dalam kelas konstruktivis, evaluasi mengambil bentuk metode tak berujung dirancang untuk fokus pada proses yang seorang pelajar telah digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Melalui penilaian diri dan refleksi, pelajar memperkuat / nya hubungan nya dalam pikiran. Guru menggunakan berbagai metode penilaian formatif untuk memantau proses pelajar dan menentukan bagaimana pelajar adalah belajar. Konstruktivis pendekatan belajar menggunakan dua prinsip utama:
  • Siswa belajar atau menerima pengetahuan melalui  keterlibatan secara aktif dalam membangun pengetahuan yang akan diperoleh; tidak pasif diterima dari lingkungan. Persepsi, pengalaman, dan refleksi semuanya penting dalam membentuk pandangan siswa secara keseluruhan terhadap  sesuatu hal.
  • Mengetahui sesuatu yang datang  melalui suatu proses pembelajaran.
Peran aktif siswa menjadi ciri utama pada pembelajaran konstruktivisme ini, dengan memperolehpengetahuan secara mandiri siswa akan mendapatkan pengetahuan yang akan lebih lama dalam mengingatnya.
9.    Social Approach (Pendekatan Sosial)
Dalam teori Pendekatan sosial atau social approach terkait dengan social learning theory, collaborative knowledge building model, connectivism, ZPD, collaborative learning. Konsep collaborative knowledge building (CKB) diperkenalkan oleh Scardamalia dan Bereiter (1994) dalam penelitian mereka pada proses belajar di sekolah, di mana mereka mengusulkan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai masyarakat pembangun pengetahuan. Model collaborative knowledge building adalah model pembelajaran di mana ada beberapa tahapan yang merupakan siklus knowledge building pribadi dan sosial. CKB adalah penyelidikan dalam pelayanan kegiatan praktis yang merupakan seperangkat keyakinan pribadi, yang diartikulasikan sebagai kontribusi kepada proses membangun pengetahuan sosial. Sebuah kondisi yang diperlukan untuk membangun pengetahuan kolaboratif adalah bahwa peserta didik membawa pengetahuan sebelumnya ke dalam situasi belajar dan memperjelas perbedaan pandangan dan pendapat dalam berinteraksi. Pengetahuan baru ini muncul tidak alami atau spontan namun perlu dibina berdasarkan pemahaman tentang bagaimana pengetahuan baru muncul dalam interaksi sosial.
Baru-baru ini terdapat banyak sekali bantuan yang diberikan pemerintah dalam bentuk laboratorium komputer, sehingga dapat dengan mudah guru maupun siswa mengakses jaringan internet. Penggunaan jaringan komputer memberikan alternatif dalam mengajar tradisional tatap muka berubah menjadi konsep kelas dengan konsep collaborative knowledge building bagi peserta didik. Model collaborative knowledge building menggabungkan wawasan dari berbagai teori pemahaman dan pembelajaran dan menyediakan kerangka kerja konseptual yang berguna untuk desain perangkat lunak Computer Supported Collaborative Learning (CSCL) dan lingkungan. Penelitian terakhir, proyek dan kerja telah menunjukkan efektivitas perangkat lunak dan lingkungan dalam memfasilitasi dan meningkatkan collaborative knowledge building siswa.
Proses CKB digambarkan sebagai momen sinergis dimana kelompok mencapai pemahaman bersama dengan berpartisipasi dalam proses sosial budaya. Setiap anggota kelompok membawa perspektif dan interpretasi dari pengalaman pribadi mereka. Proses di mana kelompok mencapai pemahaman bersama dan antar-subjektivitas melalui interaksi konstan dipecah menjadi kegiatan peningkatan pengetahuan yang lebih kecil. Pandangan CKB, belajar sebagai proses sosial menggabungkan beberapa tahapan yang merupakan siklus membangun pengetahuan pribadi dan sosial. Dukungan komputer dapat digunakan untuk mengintegrasikan berbagai tahapan dalam siklus membangun pengetahuan untuk meningkatkan lingkungan belajar dan memperkenalkan collaborative knowledge building. Saat ini ada software dan perangkat lunak sosial yang mungkin lebih mamadai untuk mendukung pengembangan pengetahuan kolaboratif dalam lingkungan pembelajaran berbasis komputer.
10.    Technological Approach

Technologi Approach merupakan suatu teori pembelajaran yang menggunakan pendekatan teknologi sebagai metode maupun media pembelajaran. Guru dapat menggunakan teknologi dalam pembelajaran untuk memudahkan siswa dalam mengakses informasi, menyampaikan bahan ajar dengan lebih menarik atau membantu siswa memahami materi pelajaran dengan baik. Maka guru pun dapat menggunakan jaringan internet dalam bentu apapun untuk mewadahi itu semua. Bisa dalam bentuk web, power point, lectora dsb. Prinsip-Prinsip untuk pengguna berpusat Desain Web:
a. Visibilitas
b. Memori Beban
c. Tanggapan
d. Aksesibilitas
e. Point of Reference & Navigasi
f.Kesalahan
g. Kepuasan
Technologi Approach  meliputi, The Effective Web Design Paradigm, User-Centred, Differentiated Instruction and Understanding by Design. Teori ini terlihat pada kombinasi yang kuat dari tiga model pengajaran / pembelajaran yang berbeda; Memahami by Design (UBD), Instruksi Differentiated (DI) dan Universal Desain Pembelajaran, (UDL). Dengan mendefinisikan dan menguraikan kekuatan dari model pembelajaran individual, menjadi jelas bahwa bersama-sama mereka membentuk sebuah pendekatan pengajaran yang kuat dan holistik.  
UBD memenuhi kebutuhan untuk standar isi dan menjawab pertanyaan: ". Apa yang kita ajarkan" Dengan peningkatan ekspektasi konten di semua tingkatan kelas serta pengujian standar pemerintah yang membandingkan tingkat prestasi sekolah; mengajar di kelas telah terpengaruh dengan cara yang tidak sepenuhnya bermanfaat bagi pembelajaran. Guru membutuhkan model yang menyumbang standar tetapi juga menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pemahaman dapat mengatasi standar konten serta mengembangkan basis informasi yang kuat. Memahami dengan desain menyelesaikan tujuan ini.
DI memandang pada bagaimana dan di mana kita mengajar siswa kita, berfokus pada praktek-praktek terbaik untuk masing-masing peserta didik. Selain harapan konten adalah sulitnya memenuhi kebutuhan beragam kelas hari ini. Bahasa, budaya, jenis kelamin, kesenjangan ekonomi, motivasi, cacat, kepentingan pribadi dan gaya belajar serta lingkungan rumah hanya beberapa dari banyak variabel yang membawa siswa ke sekolah dengan mereka. Variabel-variabel ini dapat membuat tidak efektif bahkan kurikulum terbaik jika kebutuhan beragam kelas tidak terpenuhi. Instruksi dibedakan dapat menawarkan kerangka desain kurikulum yang dapat mengakomodasi perbedaan guru melihat di kelas.
UDL adalah teori pembelajaran yang telah dikembangkan oleh Rose dan Meyer, yang berusaha untuk memastikan bahwa lingkungan belajar, termasuk kurikulum, penilaian dan pengajaran dan alat belajar mempromosikan belajar dan menghilangkan hambatan untuk belajar. Universal Desain adalah istilah yang diciptakan oleh Ron Mace pada tahun 1960 diterapkan pada desain "bebas hambatan" atau arsitektur diakses yang akan menguntungkan semua. Konsep ini dimulai sebagai Ron Mace mencari metode untuk memperbaiki kehidupan bagi penyandang cacat. Namun, metode ini ditemukan secara universal menguntungkan dan Prinsip Tujuh dari Universal Desain yang menulis. Desainer yang universal mulai bekerja dengan "user" dalam pikiran

B.       BAGAN HUBUNGAN ALUR PIKIR SISWA/ANTAR TEORI BELAJAR

                                                       Bagan Hubungan Alur Pikir Siswa




Bagan di atas terdiri dari bagaimana interaksi antar siswa, panduan guru mengajar serta pendekatan pembelajaran yang digunakan. Dalam mengajar guru mengaju pada kurikulum yang telah ditetapkan kemudian dalam mengembangkan pembelajaran melihat dari multiple intelligent nya. Karena tiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Dalam pembelajaran guru perlu memperhatikan interaksi social yang terjadi. Interasksi antar guru siswa, siswa dengan siswa  maupun siswa dengan guru. Keseluruahan hal – hal tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

 C.SKEMA ALUR PIKIR SISWA


Skema alur pikir siswa dapat diartikan sebagai berikut bahwa garis lurus menggambarkan siswa dan guru sebagai seorang individu yang terus bergerak. Siswa sebagai subyek belajar dengan segenap kompetensi yang dimilikinya, dengan berbagai kelebihan serta kekurangan yang dimilikinyaakan terus bergerak maju dan tidak akan kembali ke masa yang telah lalu. Lingkaran menggambarkan sebuah hubungan saling melengkapi satu dengan lainnya yaitu antara metode maupun model pembelajaran didasarkan pada teori belajar yang telah ada. Teori-teori belajar yang telah dijelaskan di atas saling terkait satu dengan lainnya sehingga dalam pengggunakan guru memilih yang sesuai dengan perkembangan siswa. Spiral yang digambarkan diatas sebagai hermenetika yang dapat diartikan bahwa komponen yang ada pada garis lurus serta lingkaran merupakan suatu interaksi yang terus berkelanjutan.


DAFTAR PUSTAKA
Abras, C., Maloney-Krichmar, D., Preece, J. (2004). User-centered design. W. Encyclopedia of Human-Computer Interaction. Thousand Oaks: Sage Publications. Retrieved January 25, 2008 from http://www.ifsm.umbc.edu/~preece/Papers/User-centered_design_encyclopedia_chapter.pdf
Anderson, T. (2004). Chapter 2: Toward a theory of online learning theory and practice of online learning (Anderson, T., & Elloumi, F., Eds.) (33-59). Retrieved November 20, 2007, from http://cde.athabascau.ca/online_book/ch2.html
Bates, Reid. (2004) A critical analysis of evaluation practice: The kirkpatrick model and the practice of beneficence. Evaluation and Program Planning, 27, 341-347.
Bleuel, D., & Peloso, C. (2002, July 11). Gav and Peloso's interactive story.Retrieved February 25, 2008, from http://www.nuc.berkeley.edu/~gav/wayfarence/.
Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
Bandura, A. 1977a. Self-Efficacy: Toward a unifying theory of behavior change. Psychological Review, 84, hal. 191-215

Baran, S.J & D.K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. 2nd edition. Belmon, CA: Wadsworth
               
Baranowsky, T, C.L. Perry & G.S. Parecel. 1997. How Individuals, environments, and health behavior interact: Social Cognitive Theory. Dalam K. Glanz, F.M. Lewis, & BK Rimer, Health Behavior abd Health Education: Theory, Research, and Practice. 2nd edition. San Francisco: Jossey-Bass
Beatty, K. (2002). Describing and enhancing collaboration at the computer. Canadian Journal of Learning and Technology, 28. Retrieved February 20, 2007 from http://www.cjlt.ca/content/vol28.2/beatty.html
Bruffee, Kenneth (1993). Collaborative Learning. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. pp. 28–51.
Capra, F. (2005). Complexity and life. Theory, Culture & Society, 22(5), 33-44.
Chapman, Alan. (2007) Kirkpatrick’s Learning and Training Evaluation Model. Retrieved Feb 7, 2009 from http://www.businessballs.com/kirkpatricklearningevaluationmodel.htm
Chen, G., & Chiu, M. M. (2008). Online Discussion Processes. Computers and Education, 50, 678 – 692.
Chiu, M. M. (2000). Group problem solving processes: Social interactions and individual actions. for the Theory of Social Behavior, 30, 1, 27-50.600-631.
Chiu, M. M. (2004). Adapting teacher interventions to student needs during cooperative learning. American Educational Research Journal, 41, 365-399.
Chiu, M. M., & Khoo, L. (2005). A new method for analyzing sequential processes: Dynamic multi-level analysis. Small Group Research, 36, 600-631.
Chiu, M. M. (2008).Flowing toward correct contributions during groups' mathematics problem solving: A statistical discourse analysis. Journal of the Learning Sciences, 17 (3), 415 - 463.
Clark, Donald. (2007). Instructional system development – evaluation phase. Retrieved Feb 7, 2009 from http://www.skagitwatershed.org/~donclark/hrd/sat6.html
Crone, Glen. (2005). Evaluation of Executive Training. Treasury Board of Canada Secretariat Retrieved Feb 20, 2009 from http://www.tbs-sct.gc.ca/eval/pubs/eet-efcs/eet-efcs_e.asp.
Dick, Walter. (2002). Chapter 11 Evaluation in Instructional Design: The impact of kirkpatrick’s four-level model. In Robert Reiser & John Dempsey (Eds.), Trends and issues in instructional design and technology (pp. 145-153). Prentice Hall.
Drexler, W. (2008, November 26). Networked Student [Video file]. Retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=XwM4ieFOotA
Donald L. Kirkpatrick [image file]. Retrieved Feb 27, 2009 from http://www.amanet.org/editorial/webcast/2007/effective-training.htm
Downes, S. (2008). Placed to go: Connectivism & Connective Knowledge. Innovate 5 (1). Retrieved from http://www.innovateonline.info/index.php?view=article&id=668
Ertmer, P. A., Newby, T. J. (1993). Behaviorism, cognitivism, constructivism: Comparing critical features from an instructional design perspective. Performance Improvement Quarterly, 6 (4), 50-70.
Four Levels of Evaluation [image file]. Retrieved Feb 27, 2009 from http://c2workshop.typepad.com/
Fraser, S. W., & Greenhalgh, T. (2001). Coping with complexity: Educating for capability. BMJ (Clinical Research Ed.), 323(7316), 799-803
Furnish, T. (2008). Superstory. Retrieved February 28, 2008, from http://www.hungrysoftware.com/#/online/story/.
Gonzalez, C. (2004). The role of blended learning in the world of technology. Retrieved from http://www.unt.edu/benchmarks/archives/2004/september04/eis.htm
Graham, G. (2007). Behaviorism. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Retrieved January 27, 2008 from, http://plato.stanford.edu/archives/fall2007/entries/behaviorism/ .
Gredler, M. E. (2005). Learning and instruction: Theory into practice (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education
Harding-Smith, T. (1993). Learning together: An introduction to collaborative learning. New York, NY: HarperCollins College Publishers.
Heinich, R., Molenda, M., Russel, J.D., & Smaldino, S.E. (1996). Instructional media and technologies for learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Innovative Technology for Collaborative Learning and Knowledge Building (ITCOLE) project. Retrieved from the World Wide Web on February 28, 2009 at http://www.euro-cscl.org/site/itcole/
Katz-Hass, R. & Trutchard, A. (1998). Ten Guidelines for User-Centred Web Design. Usability Interface, Vol 5, No. 1.
Kaufman, R., Keller, J. & Watkins, R. (1995). What works and what doesn’t: Evaluation Beyond Kirkpatrick. Performance and Instruction, 35(2), 8-12.
Kirkpatrick, D. L. (1996). Techniques for Evaluating Training Programs. In Donald P. Ely, & Tjeed Plomp (Eds). Classic writings on instructional technology (pp.119-141). Libraries Unlimited.
Kumar, M. & Natarajan, U. (2007) 'A problem-based learning model: showcasing an educational paradigm shift', Curriculum Journal, 18:1, 89 – 102.
Lankshear, C., & Knobel, M. (2008). The “twoness” of learn 2.0: Challenges and prospects of a would-be new learning paradigm. Closing keynote presented at the Learning 2.0: From Preschool to Beyond, Montclair State University, Montclair, NJ.
Lee, C.D. and Smagorinsky, P. (Eds.).(2000). Vygotskian perspectives on literacy research: Constructing meaning through collaborative inquiry. Cambridge, England: Cambridge University Press.
Mergel, B. (1998). Instructional design & learning theory. Retrieved February 18, 2007 from http://www.usask.ca/education/coursework/802papers/mergel/brenda.htm#Behaviorism
Myers, D. G. (1995). "Psychology: Fourth Edition". New York: Worth Publishers.
Mayer, R. (2004). "Should there be a three-strikes rule against pure discovery learning? The case for guided methods of instruction". American Psychologist 59 (1): 14–19. doi:10.1037/0003-066X.59.1.14. PMID 14736316.
Miller, P.H. (2002). Theories of Developmental Pyschology 4th Ed. (pp.367-396; Vygotsky’s Socio-Cultural Approach). New York: Worth.
Mitnik, R., Recabarren, M., Nussbaum, M., & Soto, A. (2009). Collaborative Robotic Instruction: A Graph Teaching Experience. Computers & Education, 53(2), 330-342.
Norman, D. (1988). The Pychology of Everyday Things. New York: Doubleday.
Oxford, R. (1997). Constructivism: shape-shifting, substance, and teacher education applications. Peabody journal of education, v. 72 (n1), p35. Retrieved Sunday, March 04, 2007 from the ERIC database.
Paradise, R. (1985). Un análisis psicosocial de la motivación y participación emocional en un caso de aprendizaje individual. Revista Latinoamericana de Estudios Educativos, XV, 1, 83-93.
Phelps, R., Hase, S., & Ellis, A. (2005). Competency, capability, complexity and computers. British Journal of Educational Technology, 36(1), 67-84.
Siemens, G. (2005). Connectivism: Learning as network-creation. American Society for Training & Development. Retrieved from http://www.astd.org/LC/2005/1105_seimens.htm
Siemens, G. (2004). Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age. Retrieved from http://www.elearnspace.org/Articles/connectivism.htm
Siemens, G. (n.d.). About: description of connectivism. Retrieved from http://www.connectivism.ca/about.html
Siemens, G. (2006). Connectivism – Learning Theory or Pastime for the Self-Amused? Retrieved from http://www.elearnspace.org/Articles/connectivism_self-amused.htm
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Sloman, Martyn. (2008). The value of learning. ASTD 2008 International Conference and Exposition. Retrieved on Feb 15, 2009 from http://www.astd2008.org/PDF/Speaker%20Handouts/ice08%20handout%20M120.pdf
Smith, B. L., & MacGregor, J. T. (1992). “What Is Collaborative Learning?". National Center on Postsecondary Teaching, Learning, and Assessment at Pennsylvania State University.

Sorensen, E. K. (2005). Networked elearning and collaborative knowledge building: Design and facilitation. Contemporary Issues in Technology and Teacher Education, 4(4), 446-455.

Stahl, G. (2000). A Model of Collaborative Knowledge-Building. In B. Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.), Fourth International Conference of the Learning Sciences (pp. 70-77). Mahwah, NJ: Erlbaum.

Stahl, G. (2002). A Model of Collaborative Knowledge-Building: A Slide Presentation. Retrieved from the World Wide Web on February 28, 2009 athttp://www.ischool.drexel.edu/faculty/gerry/publications/conferences/2000/icls/slides_files/frame.htm#slide0001.htm

Stahl, G. (2002).Webguide: Encouraging and Supporting Collaborative Knowledge-building: A Slide Presentation. Retrieved from the World Wide Web on February 28, 2009 athttp://www.cis.drexel.edu/faculty/gerry/publications/conferences/2000/aera2000/aera2000_files/frame.htm
Sungur, S., Tekkaya, C., & Geban, O. (2006). Improving Achievement Through Problem-Based Learning. Journal of Biological Education, 40 (4), 155 – 160.
University of Alberta. Complexity and education. Retrieved February 25, 2008, from http://www.complexityandeducation.ualberta.ca/glossary.htm.
Vianna, E. & Stetsenko, A.(2006). Embracing history through transforming it: contrasting Piagetian versus Vygotskian (Activity) theories of learning and development to expand contructivism within a dialectical view of history. Theory & Psychology. Sage Publications. Vol. 16(1): 81–108.
Verhagen, P. (2006). Connectivism: A new learning theory? Retrieved from http://elearning.surf.nl/e-learning/english/3793
Vygotsky, L.S. (1978). Mind and society: The development of higher mental processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wikipedia. Evaluation. Retrieved on Feb 27, 2009 from http://en.wikipedia.org/wiki/Evaluation
Wolman, Benjamin B. (1973). Handbook of General Psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Woolfolk, A. E., Winne, P. H., & Perry, N. E. (2000). Educational Psychology, Canadian Edition. (pp. 42-48; Cognitive Develoment and Language). Scarborough: Allyn and Bacon Canada.





 





                                                                                   



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar